Cinta itu menyakitkan..
Cinta itu menyedihkan..
Hanya ada rindu yang menyiksa
Hanya ada kenangan yang tersisa
Dan ketika makna cinta itu dipertanyakan..
Saat itulah terjawab satu misteri pertanyaan..
Tidak semua cerita dapat berakhir bahagia
1.
saTu
“Aku terpaksa nerima dia, Ren,” kataku lirih.
“Terpaksa gimana maksud kamu?
“Aku nggak serius suka sama dia.”
“Terus kenapa kamu mau repot-repot nerima dia?” Faren mengambil handuknya yang sudah basah oleh keringat, kemudian berjalan menghampiriku. Peluhnya terlihat jelas diantara poni-poni rambutnya yang diikat ekor kuda. Tengkuknya yang putih Nampak berkilang.
Sejenak kemudian dia sudah duduk menyebelahiku dengan sebotol air mineral dingin di tangannya.
“Aku nggak tega ngeliat dia aja. masa aku nolak dia, sih? Aku takut dibilang jadi cewek kejam.” Aku menghela nafas. “Lagian aku iri sama kalian,” kataku kemudian dengan nada datar.
Faren hanya diam. Tangannya sibuk bermain-main dengan bola tenis hijau yang sejak tadi dipukulnya dengan raket bersenar tebal. Kali ini dia pukul-pukulkan lagi ke lantai.
“Iri masalah apa?” akhirnya Faren pun kembali membuka bibir dengan malas.
“Semua yang kalian punya,” jawabku.
“Kami? Oh, gank kita?!”
”Ya. Setidaknya kalian sudah pernah merasakan indahnya masa-masa pacaran, sedangkan aku belum pernah ngerasainnya sekalipun.”
“Jadi hanya karena itu kamu nerima dia? Gitu aja.. Ternyata pikiran kamu bener-bener sempit.”
“Gitu aja kamu bilang?” Aku membuang muka dari pandangan Faren. Kalau ketahuan penjaga lapangan pasti aku didenda karena buang sampah sembarangan! “Jujur aja, Ren, aku malu karena dari gank kita cuma aku yang belum pernah pacaran.”
“Seharusnya kamu jangan terlalu berpikir sempit kayak gini. Terus kenapa kalau belum punya pacar? Masalah?”
“Masalah, lah. Kalian nggak mungkin akan ngerti,” potongku.
“Kamu yang nggak ngerti!” Faren kini balik memelototiku. “Kamu pikir pacaran itu seenak yang kamu bayangin? Pacaran itu cuma nambah kita sakit hati aja. Malah, kalo dihitung-hitung banyak kecewanya. Belum nanti kalo putus?!” Faren mencoba menjelaskan.
“Kalian tetap nggak akan pernah ngerti gimana rasanya!” Aku tetap kukuh pada pendirianku semula.
“Terserah kamu aja lah! Kamu emang keterlaluan. Aku yakin banget, kalau sampai temen-temen yang lain tahu masalah ini, pasti mereka nggak akan pernah maafin kamu. Kamu udah bener-bener ngecewain kami dan bohong kalo kamu sebenernya nggak cinta sama Tyo,” Faren membanting bolanya sekuat tenaga hingga memantul ke seberang lapangan. Perlahan matanya kembali menatap wajahku, “Lalu, apa kamu pikir kamu bisa bahagia dengan model pacaran seperti ini?”
Aku hanya diam. Wajahku masih saja muram. Benar juga yang Faren katakan. Batinku hanya akan tersiksa sia-sia saja.
“Aku pengen kamu jangan kasih tahu siapa-siapa masalah ini, Ren. Termasuk ke temen-temen se-gank. Aku nggak mau mereka ngebenci aku. Aku yakin aku bisa ngejalanin ini semua. Mungkin sekarang aku ngerasa nggak cinta sama dia, tapi bisa jadi suatu saat nanti aku akan berubah suka sama dia.”
Aku beranjak dari dudukku. Kuraih sebuah tas hitam yang tergeletak di sampingku dan segera pergi menuju tempat parkir sebelum seseorang di seberang sana datang dengan segenap amarahnya karena pantulan bola tennis yang sempat mengenainya.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku masih merasa nyaman dalam hangatnya selimut. Kuintip sinar matahari yang mulai terik dengan tegasnya menembus kaca jendela. Lalu kukatupkan kembali sebelah mataku. Silau sekali.
“Jam berapa ini?” tanyaku malas-malasan pada diri sendiri.
Kulihat jam digitalku di atas meja lampu. Sudah jam tujuh lewat delapan pagi. Aku segera pergi ke kamar mandi, bersiap untuk sekolah, walaupun aku tahu sudah jelas terlambat.
“Papa mana, Mbak?” tanyaku pada Mbak Asih yang sedang menyiapkan sarapan untukku di meja makan.
“Tuan sudah ke kantor sejak pagi,” jawabnya.
“Tuan? Nggak salah!? Jangan panggil tuan, ah, Mbak. Aneh!”
“Oh, iya.”
“Kak Rico?”
“Mas Rico belum pulang sejak semalem. Mungkin nginep di rumah temannya lagi.”
“Oh, ya udah. Makasih ya, Mbak.”
“Iya,” Mbak Asih kembali ke belakang. Sosoknya yang lembut membuatku sering iri.
Mbak Asih adalah pembantu baruku sejak tiga bulan yang lalu. Katanya, sih, masih perawan. Parasnya juga cantik. Sayang, pacarnya banyak banget. Pak satpam, supirnya papa, tukang sayur, tukang sate..
Hhh.. aku meghela nafas panjang. Setiap hari selalu begini, sarapan pagi tanpa papa dan kak Rico. Papa selalu saja sibuk dengan urusan kantornya –seperti yang semua papa biasa lakukan dalam sinetron—, sedangkan Kak Rico lebih senang pergi sampai larut malam dan tidur di rumah pacarnya.
Seandainya saja ada mama..
Mama pergi ninggalin keluarga ini sejak aku masih kecil. Aku bahkan sudah nggak inget lagi bagaimana senyum mama yang selalu terasa hangat. Keberadaan mama saat ini pun tidak diketahui di mana. Karena itulah papa, kak Rico, dan aku sudah menganggap mama bener-bener lenyap dari dunia ini.
Mama adalah orang paling jahat yang pernah ada karena tega meninggalkan keluarganya. Padahal mama tahu aku dan kak Rico masih sangat kecil waktu itu, tapi kenapa mama tetap pergi?
Namun yang paling ngerasain sakit sudah tentu papa. Papa begitu mencintai mama. Bahkan sampai sekarang papa tidak mau menikah lagi karena berharap mama pasti kembali. Papa sering sekali melamun memikirkan mama dan itu membuat aku semakin bertambah benci pada mama.
Karena mama, kak Rico jadi lebih senang dengan kehidupan bebasnya daripada keluarga. Kakak dulu peduli sama aku, hingga akhirnya saat dia SMA semuanya berubah.
Kutinggalkan sarapanku yang masih tersisa. Aku segera berlari menuju mobil dengan sekotak susu putih di tanganku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Kelas kosong. Sia-sia aku terburu-buru di jalan tadi. Aku meletakkan tasku dan memandang jam tanganku, pukul delapan lewat dua.
“Hai..!” sapaku pada teman-teman satu gank-ku di bangku depan kelas. Mereka terdiam. Padahal tadi sebelum aku sampai dan duduk di sela-sela mereka, aku melihat mereka sibuk dengan suatu topik perbincangan.
“Kenapa kalian diam?” tanyaku lagi sambil menyenggolkan bahuku ke bahu salah seorang dari mereka.
Aku jadi benar-benar curiga pada Faren. Jangan-jangan dia udah ngasih tau masalah yang kemarin.
Satu persatu dari mereka pergi meninggalkanku hingga tak ada satupun lagi yang tersisa. Aku menunduk lesu. Pasti Faren telah mengatakan semuanya pada mereka, dan mereka pasti mengira aku nggak menghargai jasa mereka yang sudah berhasil menjodohkanku dengan Tyo.
Namun tiba-tiba keempat perempuan itu sudah berdiri di depanku lagi. Aku mendongak memperhatikan mereka. Sebuah kue besar terangkat di tangan Dyne, wanita kulit putih keturunan Belanda. Aku masih bingung sebelum akhirnya mereka memberiku ucapan selamat ulang tahun. Aku malah baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 16.
Selama ini pasti hidupku selalu tertutup oleh kabut derita, hingga mataku serasa hampir buta.
Sungguh hipos!
“Terima kasih, yah, temen-temen..”
“Sama-sama! Ngomong-ngomong kamu takut, yah, kita cuekin tadi?” tanya seorang di antara mereka yang paling kurasa centil, Ela.
“Ya iyalah jelas aku takut. Aku kira aku nggak akan punya sahabat seperti kalian lagi,” jawabku sambil memotong kue menjadi beberapa bagian.
“Kamu nggak perlu takut, kali.. Kita nggak bakalan ninggalin pertemanan kita, kok. Sekali temen kan tetep temen..” Dyne menyaut sepotong roti dari pangkuanku.
“Makasih, ya, sekali lagi. Semoga selamanya kita tetep jadi sahabat,” kataku lirih.
Mereka mengangguk dengan belepotan mentega putih di sisi bibir.
“Tapi, yang aku heran,” kata Faren kemudian terbata-bata karena mulutnya penuh dengan makanan, ”Bagaimana mungkin kamu bisa nganggep kita sahabat, sementara kamu sendiri jarang sekali mau terbuka sama kita?”
Aku terpukul karena perkataan Faren.
“Selamat ulang tahun!”
Tiba-tiba ucapan itu datang menyelamatkanku. Tyo berdiri di hadapanku dengan kado di tangannya.
“Chieee…!!” kata temen-temenku kompak.
“Makasih.”
“Kita ke kelas dulu, yah..” kata Abel sambil menyeret tangan teman-temanku yang lain.
“Apa-apaan sih?” Faren nggak rela tangannya digandeng-gandeng. “Di sini aja. Kan kuenya masih banyak?”
“Aduh kamu nggak peka banget, sih?”
“Peka masalah apa, yah?” Faren pura-pura bodoh. “Oh, iya iya! Maaf!” susulnya kemudian.
Tyo duduk menyebelahiku. Tapi kemudian Faren datang lagi buat ngambil kue, dan masuk lagi ke dalam.
Tinggal aku dan Tyo yang duduk di bangku itu. Aku masih diam. Kusibukkan diriku dengan mengamati beberapa siswa laki-laki berpakaian abu-abu putih bermain basket di halaman. Aku sebenarnya bingung bagaimana harus memulai pembicaraan.
Semut-semut merah berbaris di dinding, menatap kami curiga, seakan penuh tanya, sedang apa di sini?
Ini nggak boong. Beneran ada beberapa semut merah yang berbaris di dinding, menatap kami curiga, seakan penuh tanya…
“Kenapa ngelamun?” tanyanya pelan namun cukup membuat lamunanku buyar.
“Oh, eh.. Enggak. Aku nggak ngelamun, kok.”
“Buka, dong, kadonya?” Tyo menunjuk kado kecil yang sedari tadi kumainkan dengan kedua tanganku.
“Oh iya, lupa!” Perlahan kubuka bingkisan berwarna biru muda itu. Sebuah boneka kura-kura kecil dengan bulu-bulu halus yang terasa nyaman bila kusentuh. Kupencet-pencet perutnya. Seperti ada bulir-bulir kecil agak keras di dalamnya.
Jangan-jangan dia ngasih kado aku boneka isi merica?!
“Makasih banyak, ya,” kataku lagi.
“Sama-sama. Emm, gimana kalau kita pulang sekolah nanti mampir makan dulu?” tanyanya kemudian.
“Makan? Sebenernya aku ada acara sih, tapi ya udahlah.”
“Jadi kamu mau?”
Aku mengangguk kecil dan tersenyum setelah itu.
“Aku ke kelas dulu, yah,” lanjutku.
“Yup! Sampai jumpa nanti.”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku berjalan menuju bangkuku. Sebenarnya aku merasa heran juga, kenapa aku sama sekali nggak ngrasa seneng dapet hadiah dari pacar? Dan kenapa rasanya pacaran itu hambar? Tapi kalau aku lihat temen-temenku yang lain, sepertinya mereka bahagia banget punya pacar.. Apa mereka nggak bosan, yah, dengan pacarnya itu? Padahal aku aja yang baru 6 hari jadian udah ngerasa bosen banget. Gimana enggak yang bertahun-tahun?
Tapi aku berusaha menepis perasaanku itu. Mungkin belum saatnya aja, karena aku emang baru mulai pacaran. Palingan besok kalau udah lama nggak akan seperti ini lagi.
“Sepertinya dia sayang banget sama kamu,” kata Faren yang sudah duduk di sampingku sejak tadi aku melamun.
“Memangnya kenapa?”
“Apa kamu nggak kasihan sama Tyo?”
“Maaf, kasihan soal apa, yah?” Aku mencoba menyibukkan diri dengan membuka-buka majalah sekolah yang baru saja dibagikan.
“Kamu kan nggak sepenuhnya suka ama dia. Ayolah, jangan pura-pura. Kamu udah cerita kemarin. Apa jadinya kalo dia tahu nanti? Bisa-bisa dia sakit hati terus bunuh diri?! Kan ribet urusannya?!”
“Tolong, ya,” aku menutup majalahku dan meletakkannya di atas meja. Kualihkan wajahku ke arah Faren, ”Kamu jangan ungkit-ungkit masalah ini di sini. Toh, aku yakin, kalau aku cuma belum terbisa aja.”
“Yah, terserah kamu deh! Aku sebagai temen kan cuma mau ngingetin aja kalo yang kamu lakukan itu salah. Kalo kamu suka, bilang suka. Kalo nggak suka, ya bilang nggak suka. Jangan ditutup-tutupin, dong! Lagian kalo dia bunuh diri bukan aku juga yang dihantui.” Faren berdiri lalu pergi menghampiri temen-temen lainnya yang asyik bermain kartu bridge.
Sekali lagi aku hanya bisa menghela nafas. Ini keputusanku dan itu memang harus kujalani sebagai konsekuensinya.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Sore itu aku masih bersama Tyo. Seperti kesepakatan, dia mengajakku makan. Aku masih benar-benar kikuk kalo harus menggandeng tangannya dan berjalan beriringan. Sumpah! Aku belum terbisa dengan ini.
Jujur aja, aku bukan orang yang mencintai sesuatu yang romantis. Bahkan aku sendiri belum tahu apa yang dimaksud dengan kata romantis. Sifatku jauh dari sebutan feminin. Aku lebih suka melakukan hal-hal yang menurutku lebih bermanfaat daripada harus sibuk merawat diri, mengecat kuku-kuku, mewarnai bibir dan mata, atau apalah itu istilah lainnya. Semua itu bagiku sama sekali nggak menarik. Karena itulah tak banyak lelaki yang melirikku, aku tahu itu.
Tapi, meskipun begitu, aku nggak mau merubah penampilanku. Aku nggak mau ikut-ikutan temen-temenku yang lain. Aku selalu berpegang kuat pada pendirianku bahwa aku nggak ingin terbawa angin, tetapi aku yang harus membuat angin itu sendiri.
“Kenapa diem?” tanyanya sambil menatap kedua mataku. Sepiring steak menunggu untuk segera disantap.
“Oh, iya. Biar agak dingin dulu,” jawabku singkat.
“Kamu nggak suka, yah, jalan sama aku?” Pertanyaannya tiba-tiba membuatku celingukan.
“Oh, bukan! Bukan begitu..”
“Terus?”
“Ehm, aku.. Aku cuma baru punya masalah aja, kok!” jawabku mencari-cari alasan.
“Masalah? Masalah apa?”
“Enggak. Cuma masalah kecil aja! Kecil banget malah! Kamu pasti nggak bakal bisa ngliat, deh. Haha..”
“Kenapa, sih, kamu nggak pernah terbuka sama aku? Aku kan cowokmu?” Tyo meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring, diletakkannya kedua tangannya di atas paha.
“Maaf, Tyo. Bukan gitu..”
“Aku mau kita break aja dulu. Mungkin kita emang belum cocok,” potongnya singkat. Pelan, tapi cukup mengena.
Aku hanya bisa diam menunduk. Perlahan aku mulai melahap makananku untuk mengalihkan rasa kaget.
“Tyo,” kataku kemudian.
Tyo mengangkat kepalanya.
Ini bukan berarti kepalanya lepas, terus diangkat pakai tangannya, lho...
“Maafin aku udah bikin kamu kecewa.”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Ren, aku mau ketemu sama kamu sekarang. Bisa?” kataku di telepon.
“Bisa. Memeng kenapa? Ada masalah, ya?” kata Faren dari seberang.
“Enggak, kok. Aku lagi butuh kamu aja. Kamu ke rumah, ya?”
“Okeh. Tunggu aja.”
Aku memainkan boneka anjing berbulu hangat hadiah dari Tyo pagi tadi. Lembut sekali. Aku jadi semakin penasaran dengan isi perut boneka itu : Apa iya, anjing makan merica?
Berulang kali kutempelkan kepalanya di hidungku, membuatku merasa geli dan ingin tertawa sendiri walaupun air mataku masih menetes. Aku sempat menangis beberapa menit sepulang dari makan tadi. Aku merasa terpukul dengan kata-kata Tyo. Bagaimana mungkin bisa begini? Baru tadi pagi dia ngasih aku kado, sekarang udah nggak akur.
Aku juga berpikir kalau aku ini memang egois. Aku hanya mementingkan diriku sendiri tanpa peduli perasaan orang lain. Tapi mau bagaimana lagi? Perasaanku ya seperti ini. Aku nggak bisa mencintai orang yang memang tak kusukai walaupun dipaksakan. Yang ada sekarang malah orang lain yang kujadikan korban.
Aku ingat kata-kata Faren untuk berkata jujur. Tapi gimana? Itu namanya aku tidak konsekuen akan keputusan yang udah aku buat sendiri. Dan yang paling penting aku nggak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi.
Tyo mati bunuh diri terus datang di setiap malamku!
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Sebelum sempat aku mengijinkannya masuk, ia sudah membuka pintu dan segera menjatuhkan tubuhnya di tempat tidurku.
“Ah! Empuknya!” katanya.
Aku berdiri dari kursi belajar dan menimpakan tubuhku di atas bantal-bantal kasurku.
“Ada apa, sih? Kayaknya kamu lagi kacau banget?” tanya Faren kemudian.
“Kacau?”
“Iya, kacau. Emang balonmu yang ijo meletus?”
Aku tertawa kecil. Faren memang senang bercanda.
“Bukan yang ijo, kok. Kan udah meletus kemaren?!” aku membenahi bantalku, “Aku bingung, Ren!”
“Masalah apalagi?” Faren mulai serius, bangkit dari posisi tengkurapnya dan duduk bersila menghadapku.
“Masalah Tyo.”
“Tyo lagi, Tyo lagi! Ada apa, sih, sama kamu? Aku nggak kenal kamu yang sekarang. Kamu bukan kamu yang dulu. Kamu yang dulu selalu berkata jujur dan apa adanya. Nggak gampang nyerah gini,” kata-kata Faren terpotong oleh kata-katanya sendiri, “Ngomong-ngomong ada makanan nggak?”
Faren selalu tanya soal makanan di manapun dan kapanpun. Diambilnya setoples kacang mede dari atas meja tulisku, lalu kembali lagi ke tempatnya semula.
“Sampai mana tadi?” tanya Faren kemudian.
“Emm.. sampai ada makanan nggak,” ujarku.
“Jangan bercanda, dong!”
“Eh! Nggak salah? Harusnya aku yang bilang gitu. Bukan kamu!”
“Iya deh, maaf. Nah, sekarang kita mulai lagi. Emang sih, kalo menurut aku kamu ini terlalu tertutup. Setidaknya jika dibandingin sama temen-temen kita yang lain lah! Tapi tetep aja aku ngerasa kamu beda. Dulu, kalo kamu nggak setuju sama suatu opini kamu pasti bantah dengan segenap kekuatan dan jiwa ragamu,” Faren berkobar-kobar menyatakan pendapatnya. Arwah kakeknya yang seorang pejuang pasti telah merasukinya. “Tapi sekarang masalah kayak gini aja kamu goyah!?”
“Goyah apanya? Aku nggak goyah dan aku sama sekali nggak berubah.”
“Kata siapa? Kamu nggak bakalan bisa, dong, nilai diri kamu sendiri. Yang bisa nilai diri kamu itu cuma orang lain!” Faren melemparkan sebutir mede ke udara, kemudian menengadah, mencoba menangkapnya masuk ke mulut. Dia terus melakukannya berulang kali karena selalu saja gagal.
“Titik masalahnya bukan di situ. Kalau yang itu, sih, bukan urusan kamu, Ren!”
“Terus masalahnya apa?” Faren masih terus mencobanya.
“Mas..”
“Yezzh!! Kamu lihat nggak tadi? Aku bisa masukkin! Jarang-jarang lho aku bisa begini! Heeehee..” teriakkan Faren memotong kata-kataku.
Aku diam saja karena merasa tak diperhatikan.
“Iya, iya maaf… Aku tahu! Gini-gini aku juga ngedengerin kali? Jadinya masalahnya di mana?”
“Masalahnya aku bingung!”
“Dari tadi kamu sebut-sebut bingung melulu. Bingungnya itu di mana? Yang baca juga ikut bingung, nih.. Jangan bertele-tele berkeliling muter-muter thawaf nggak karuan, dong..” Faren akhirnya memasukkan segenggam penuh mede ke mulutnya karena bosan tidak ada satu pun kacang yang bisa masuk lagi ke mulutnya.
“Aku nggak tahu apa artiya break..”
Faren tersedak dan memuntahkan kunyahan kacang medenya di atas gulingku. Kontan aku ikut berteriak melihat apa yang udah dilakukan Faren pada teman tidurku yang nggak jelas jenis kelaminnya apa.
“Apa-apaan, sih, Ren? Bikin kotor kamarku aja?”
“Minum dong!” Faren masih terbatuk-batuk.
Aku berlari mnencari air sementara Faren sibuk dengan kerjaan barunya.
“Maaf..” Faren berusaha membersihkan kunyahan mede itu dan mengumpulkan kotorannya di tangan kirinya.
“Ini,” kataku sambil menyerahkan segelas air padanya. Diteguknya air itu sampai tak bersisa. Aku kembali duduk di atas tempat tidur.
Faren masih berdiri. Firasatku nggak enak banget. Dan bener aja, nggak lama kemudian kunyahan mede di tangan kirinya sudah masuk lagi ke mulut Faren. Weekks!
“Maaf, yah, soal yang tadi!”
“Nggak papa!” jawabku sambil bergidig jijik.
“Mau juga?” candanya sambil menunjuk-nunjuk isi mulutnya yang sedari tadi jadi pusat perhatianku.
“Cukup!”
Faren tertawa lebar. Lebar kayak gua.
“Ayo balik lagi ke masalahku tadi.”
“Oke. Jadi dia ngajak kamu break?”
Aku mengangguk pelan.
“Alah.. break aja nggak tau?”
“Emang kamu tau?”
“Enggak!”
“Jangan bercanda, dong!”
“Iya, iya! Aku tahu. Break itu artinya dia ngajak kamu istirahat dulu pacarannya.”
“Putus, gitu bahasa kerennya?”
“Bukan, bukan! Bukan putus. Kamu cuma istirahat bentar gitu..”
“Oh?!”
“Ah, dasar kamu ini! Pinter-pinter bego!”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Siapa namanya?” tanya Dyne kelihatan ingin tahu.
“Evan,” jawab Ela sambil ketawa renyah.
“Jadi Evan, ya..” Aku ikut-ikutan menggoda Faren.
Siang itu, seperti biasa, sepulang sekolah aku dan gank-ku masih asyik kumpul-kumpul bareng di sebuah warung soto kecil di samping sekolah.
Topik yang dibahas kali ini ialah mengenai TTM-nya Faren Adinta yang baru kenal semalem gara-gara mobilnya Faren mogok sepulang dari rumahku dan kemudian ditolongin sama cowok lumayan cakep yang akhirnya diketahui bernama Evan itu.
Akhirnya bisa juga aku bikin satu kalimat dalam satu paragraf tanpa koma.
“Kapan-kapan ajak ketemuan dong, Ren! Kami kan juga pengen lihat orangnya?!” Abel mempermainkan pipa sedotan di gelas es tehnya.
“Bener banget! Jangan-jangan dia jelek, lagi!?” celetuk Dyne.
“Enggak tuh! Orangnya cakep, kok!!”
“Kira-kira kamu ada feeling nggak sama dia?” tanyaku kemudian.
“Masalah itu kayaknya belum, deh! Aku nggak begitu suka sama dia. Emang sih, dia cakep. Tapi aku nggak suka tipe cowok seperti dia, aku suka yang rambutnya cepak,” jawab Faren. Dipatahkannya kentang goreng yang masih kelihatan panas itu di antara gigi-giginya.
Betapa menderitanya sang kentang..
Dicabut paksa, disayati, dipotong- potong, digaramin, digoreng dengan api nan penuh bara, lalu digilas.
Belum lagi nanti diremas-remas, dibusukkan, dikeluarkan paksa, ikut mengalir bersama benda asing lainnya, dikunyah ikan, dikeluarin lagi..
Oh, kentang..
“Oh, jadi dia berambut panjang?” sahut Abel.
“Kan bisa dipotong cepak, Ren!?” sergahku.
“Apa-apaan, sih!” Faren menahan tawa melihat yang lainnya tertawa garing.
“Dibonding nggak?!”
“Dikeriting, ya?!”
Sekali lagi ketawa bareng.
“Rambut dia bukannya panjang segitu, tapi berponi!”
Semuanya kontan ketawa lagi.
“Apa? Berponi? Kuda dong?! Jadi deh, kalian siap diinseminasi..” Ela bikin suasana tambah garing penuh kerenyahan. Aku dan teman-teman kembali ketawa crispy.
“Aduh, udah deh! Nggak bisa, ya, ngomong nyambung sama kalian?!” Faren jadi tersinggung.
“Maaf deh, Ren! Kami nggak bermaksud gitu, kok! Kita kan biasa bercandaan. Masa gitu aja marah, sih?” Dyne menyodok-nyodok lengan Faren dengan pisau kecilnya.
“Aku bercanda juga, kok!”
“Sial! Aku pikir marah beneran!” Ela bersungut-sungut.
“Hehehe,,,” Faren tertawa penuh kelaknatan dan kebiadaban.
“Tapi sebenernya emang maksud kami gitu!”
Faren marah lagi.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Mbak, ada tamu. Mau ketemu katanya,” kata Mbak Asih di depan pintu kamarku.
“Siapa, Mbak?” tanyaku setengah berteriak dari dalam kamar.
“Nggak tau. Katanya penting.”
“Oh, ya udah. Suruh nunggu bentar ya, Mbak! Aku lagi tanggung ngejadwal pelajaran.”
Aku segera turun untuk melihat siapa yang datang. Tetapi begitu sampai di bawah, aku nggak nemuin orang yang nyariin aku di ruang depan.
“Mbak Asih, mana orangnya?” tanyaku pada Mbak Asih yang sedang asyik dengan setrikaannya.
“Oh, ada di bangku belakang!”
“Makasih ya, Mbak!”
“Sama-sama!”
Aku segera beranjak ke taman belakang. Seseorang telah berdiri menungguku di sana. Lelaki itu kelihatan gagah dengan jaket kulitnya yang legam nan pekat.
“Hai!” sapanya setelah aku datang menghampirinya.
“Hai!” jawabku sambil mempersilakannya duduk di bangku taman itu.
“Maaf, aku ganggu kamu,” katanya memulai pembicaraan.
“Kamu nggak ganggu, kok! Lagian aku juga udah selesai belajar.”
“Ini buat kamu.”
Seikat bunga mawar yang masih segar ditawarkannya untukku.
Untung bukan mawar segar yang udah dikeranjangin bareng kenanga, kanthil, dan melati!
“Tyo, apa ini?” tanyaku masih bingung.
“Ini bunga, kan? Anak kecil juga tau ini bunga.”
“Bunga, ya?! Kirain celana..” aku garuk-garuk kepala. “Bukan itu maksudku. Kita kan masih break, kenapa kamu datang ke sini dan ngasih aku bunga?”
“Terima dulu,” suruhnya dan aku pun segera menerimanya, “Aku ingin kita kayak dulu lagi,” susulnya.
“Berteman lagi seperti dulu?” bloonku kumat.
“Duh, bukan!”
“Terus?”
“Maksudnya kita pacaran lagi aja. Rasanya aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku nggak bisa nahan kangenku sama kamu. Sekarang ini aja, rasanya hatiku pengen meledak-ledak,” kata Tyo terbata-bata.
Cepetan aja gih, meledaknya! Seumur-umur aku belum pernah ngeliat hati orang meledak!
“Oh, gitu. Ya udah, deh! Tapi kalau aku boleh ngomong sama kamu, aku minta lain kali jangan dateng lagi ke rumahku ,yah?!”
“Kenapa?”
“Aku takut papa nggak ngijinin aku pacaran dulu.”
“Oh, masalah itu. Sekarang papamu di mana?”
“Papa masih di kantor. Mungkin sebentar lagi pulang.”
“Kalau gitu aku harus pulang sekarang,” Tyo berdiri dari duduknya.
“Mau ke mana?” tanyaku sambil mengikutinya berdiri.
“Mau pulang. Katanya papamu bentar lagi dateng?”
“Iya sih, tapi bukan berarti aku ngusir kamu.”
“Iya,” Tyo memutus kata-kataku, “Aku juga tau kok, kamu juga masih kangen sama aku, kan?”
Aku hanya tersenyum sampai akhirnya dia pergi meninggalkanku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Seperti biasa, pagi itu lagi-lagi aku sarapan sendiri. Hanya beberapa makhluk hidup yang sudah mati yang digoreng Mbak Asih yang masih hangat yang masih setia menemaniku.
Stop! Aku bosan dengan kata ‘yang’!
Hidupku bener-bener hampa tanpa kasih sayang orang tua. Aku sering iri kalo ngliat temen-temenku bergandengan mesra dengan orangtuanya ketika aku masih kecil. Tapi sekarang sepertinya rasa iri itu sudah berubah menjadi sesuatu yang membuatku lebih terbiasa.
“Pagi, sayang!”
“Papa?!” tanyaku kaget melihat papa duduk di sampingku mengambil sarapannya. “Kenapa jam segini belum berangkat, pa?”
“Papa capek. Kemarin papa sempet ngrasa agak sakit, jadi papa putuskan buat istirahat sebentar. Lagian papa sudah lama banget nggak perhatiin kamu ama kakakmu. Ngomong-ngomong di mana dia?” tanya papa sambil mulai melahap suapan pertamanya.
“Kakak masih tidur. Semalem dia pulang larut banget.”
“Nggak kuliah?”
“Tau, tuh!” jawabku cuek.
“Maafin papa, yah, udah bikin kalian seperti ini. Terlantar tanpa kasih sayang,” kata papa tiba-tiba.
“Papa?! Papa nggak perlu ngomong gitu. Kami ngerti kok kalau papa jauh lebih menderita dari kami. Aku bener-bener nggak ngerti jalan pikirannya mama. Kenapa wanita itu tega ninggalin kita dan ngelepas tanggung jawabnya begitu aja, sih? Bener-bener nggak punya perasaan.”
“Heh! Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu tentang mama kamu,” potong papa.
“Kayaknya lebih cocok disebut mantan mama deh, pa!”
“Bagaimanapun dia tetep mama kamu. Dia yang ngelahirin kamu dan Rico ke dunia ini. Jadi jangan sekali-kali menghina dia.”
“Tapi, pa? Dia tetap saja bukan mama yang baik buat aku. Kalau dia emang mama yang baik, tentunya dia nggak ninggalin keluarga kita kayak gini, dong! Atau paling nggak, kalo dia masih punya perasaan, dia nyariin kita kek gitu, buat ngelihat anak-anaknya udah pada gedhe apa belum?! Udah pada mati atau masih hidup?! Hhh, boro-boro dia mau nyariin kita. Palingan sekarang kita ini udah ilang dari ingatan mama. Mending juga kucing, masih inget sama anaknya.”
Papa hanya diam.
“Pa, aku berangkat sekolah dulu,” kataku kemudian. Akupun segera mengambil mobilku setelah mencium tangan papa.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Sekolah Sabtu ini pulang pagi. Guru-guru sibuk mempersiapkan soal-soal ujian untuk Senin nanti. Akhir pekan ini Faren berusaha mempertemukan Evan dangan teman-teman. Rencananya nanti malam Evan akan menemui kami di sebuah konser band.
“Kamu entar ikut, kan?” tanya Ela padaku. Saat itu kami berlima masih di dalam mobil, puter-puter mencari tempat makan yang enak.
“Ikut mungkin,” jawabku sambil membelokkan stir.
“Kamu nggak ngedate bareng Tyo? Kan malem Minggu?!” tanya Abel.
“Em.. kayaknya enggak deh!”
“Kamu juga, La? Nggak ngedate sama Reno?”
“Nggak! Males. Kayaknya aku bosen deh sama dia,” jawab Ela cuek.
“Kenapa nggak kamu putusin aja?” tanya Faren.
“Pamali ah cewek mutusin. Mending dia aja yang mutus aku. Lagian aku masih sayang ngelepas dia. Dia kan tajir bo’..”
“Kamu ini matre banget sih?” komentar Dyne dan Abel hampir kompak.
“Emang bisa kenyang hidup cuma makan cinta? Nggak kan? Kita juga butuh makan!!“ Ela bener-bener kelewat santai.
Semua diem.
“Kalo bisa entar malem aku mau cari cowok lagi. Buat serep,” susul Ela.
“Mau kamu apain tuh cowok? Jadiin selingkuhan?” tanyaku penasaran.
“Ih, nih anak asal ngomong, deh! Aku nggak berniat selingkuh. Aku kan cuma nyari asuransi aja istilahnya.”
“Asuransi gimana?”
“Asuransi ya asuransi. Jadi nanti kalau Reno mutusin aku, paling nggak aku masih punya cadangan cowok-cowok oke lagi tajir yang lain.”
“Dasar! Sama aja namanya, ‘oon!” sahut Faren sambil mengutak-atik HP-nya.
“Ke sini aja, yah,” kataku sambil membelokkan mobilku di sebuah rumah makan yang lumayan besar.
“Ah, males ah makan nasi rames melulu. Cari yang lain!”
“Terus apa?!”
“Angkringan deket studio musik B&B aja!”
“Jauh! Besinku abis nih..”
“Ya udah sini, mumpung aku juga lagi pengen pipis!” timpal Faren.
Aku mencibir.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Tyo! Kenapa lagi ini?
Lagi? Orang baru sekali juga!?
“Hai!” jawabku.
“Nanti malam makan, ya?!” ajaknya.
“Tapi aku..”
“Pokoknya aku tunggu di depan rumah.”
Tut..tuut..tuut..
Teleponnya langsung dimatikan tanpa mendengar penjelasanku lebih dulu. Sial!
“Siapa? Tyo, ya?” tanya Dyne.
“Iya.”
“Ya udah kalo kamu emang nggak bisa jalan bareng kita nggak papa kok! Lagian kan kamu belum lama pacaran sama dia. Takutnya entar dia marah lagi sama kamu,” Ela menasihatiku sambil sesekali membersihkan kuku-kukunya.
Apa dia jarang cebok, yah?! Pasti tokainya nyangkut-nyangkut deh di situ.
“Tapi..”
“Udah, nggak papa!” potong Faren.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Malam ini terasa biasa saja bagiku. Aku sebenernya nggak merasaka apapun di benakku saat ngedate bareng Tyo. Rasanya dingin, benar-benar dingin. Kami hanya makan biasa, lalu dia mengantarku pulang.
Aku lelah juga lama-lama berpura-pura kayak gini. Kapan, ya, kira-kira Tyo bakal mutusin aku?
Bakal lebih asyik kalo aku tadi nggak menyanggupi Tyo, tapi pergi bersama temen-temenku yang lain menemui Evan. Pasti besok cuma aku yang paling ketinggalan berita.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Gimana kemarin malem Minggu?” tanyaku pagi itu sebelum ujian dimulai. Kami masih duduk-duduk di bangku sambil memegang buku kimia. Mataku masih terlihat bengkak-bengkak karena begadang semalaman belajar pelajaran yang sama sekali nggak logis di pikiranku itu.
Coba kita renungkan sejenak.
Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan elektron dalam atom dihubung-hubungkan sama roti kismis? Nggak masuk akal. Mending juga kacang atom sama kismisnya masuk ke perutku.
Hari ini ujian semester 2 diadakan. Aku merasa waktu berlalu begitu cepat. Aku emang sudah nggak kecil lagi sekarang. Karena itu tahun ini aku harus memusatkan pikiranku pada pelajaran agar dapat masuk ke fakultas idamanku, teknik fisika. Yah, tahun ini adalah tahun terakhirku..
Sebenarnya masih kabur juga, sih, tentang pilihan fakultas. Karena menurut orang-orang dalam perkembangan ke depan ada tiga industri yang sangat penting dan dibutuhkan orang banyak: industri teknologi informasi, industri bioteknologi, dan industri energi.
Tapi dari ketiganya aku sama sekali nggak ada yang tertarik.
Namun nggak nutup kemungkinan juga, kan, kalo teknik fisika masih megang peranan penting di dalamnya?!
“Kemarin seru banget! Sayang kamu nggak ikut!” jawab Ela.
“Emang seru kenapa?”
“Tau nggak sih, yang namanya Evan itu ternyata nggak begitu cakep. Yah, standar lah. Sedikit di bawah rata-rata,” Ela mulai nerocos mengeluarkan keahliannya menilai laki-laki.
“Sama Reno?” godaku.
“Yah, jangan dibandingin sama dia, dong!” Ela menaruh bukunya di pangkuannya lalu meneruskan kata-katanya, “Reno sih lebih jauh di bawah rata-rata. Cuma jauh lebih tajir juga.”
“Sial,” benar-benar jawaban yang membuatku kecewa.
“Tapi paling tidak aku udah nemuin calon pasangan selingkuhanku kemarin,” lanjutnya bangga.
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Temennya si Evan,” jawab Faren yang sedari tadi diam sambil menjilati lolipopnya yang tinggal seujung kuku. Sementara itu Dyne dan Abel tampak asyik dengan buku dan calon kepekan-nya.
“Temennya Evan?!” aku nggak ngerti.
Ela mengangguk mantap, “Namanya Arda.”
“Agha?!”
“Dasar budheg! Arda!” Ela mengulanginya.
“Siapa? Ardha, ya?”
“Kamu ini tanya melulu! Berisik tau! Salah sendiri kemarin nggak ikut!” Abel merasa terusik belajarnya.
“Iya, iya maaf.. Paling tidak kan kalian lebih berpengalaman daripada aku?” tanggapku merendah.
“Nggak perlu gitu, kan?” kata mereka kompak.
“Lain kali kita bakal ketemuan lagi, kok. Jadi nggak usah khawatir, kamu pasti bisa ngelihat mereka.”
“Sepenting itukah”?
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
2.
dUa
Seminggu sudah berlalu sejak saat itu. Ujian pun sudah selesai, tinggal menunggu hasil. Jadi kami lebih sering berangkat sekolah untuk sekedar ngobrol saja.
Siang itu aku masih asyik dengan laptopku. Beberapa pesan menunggu selama seminggu ini di email. Sebentar-sebentar aku berdecak kesal karena loadingnya kelewat lama banget amat sangat sekali.
From: arjuna_mencari_kolor@hotmail.com
Subject :Hai
Aq kangen banget nih..
Kapan bisa ketemu lagi?
Aq kesepian,
jadi papa ngebolehin pindah lagi.
aq bakal cepet2 ke situ.
Tlg daftarin q di skulmu,,
Kalo bisa kita sekelas aja.
Aku tersenyum kecil membaca email dari Ega, sahabat karibku di SMP.
Aku jadi ingat kalau akulah satu-satunya teman yang ia punya karena ia sangat pemalu untuk berkenalan dengan teman-teman yang lainnya. Itu pun aku duluan yang mengajaknya berkenalan. Orangtuanya tinggal di Batam, dan saat SMP dia hanya tinggal sendiri bersama pembantunya dan seorang Pak Tua kepercayaan orangtuanya di sebuah rumah besar, dua kilo kurang lebih dari rumahku.
Ega banyak punya kemiripan denganku. Salah satunya adalah kami selalu haus akan kasih sayang orang tua.
From: pink_hatter@yahoo.com
Subject: Re: Hai,
Ega,
Aku kangen bgt..
Aku akan tunggu..
Tapi aku nggak akan nerima kamu kalo masih pemalu.
Btw masih sering ngupil g?
Okeh.
Aku urusin.
Tapi nggak janji bisa sekelas..
^_^
J With love,
Aku masih tersenyum mengingat masa-masa laluku bersama Ega. Sementara itu di pikiranku yang lain aku sadar sudah melupakan sesuatu yang mungkin agak sedikit penting: Tyo. Sudah seminggu aku tidak menggubrisnya. Waktuku habis untuk belajar.
“Aku mau ngomong,” kata seseorang yang sudah berdiri di samping bangku tempatku duduk. Entah sejak kapan dia ada di sana.
“Tyo?” tanyaku kaget.
“Boleh aku duduk?”
Aku mengangguk pelan.
“Aku bingung musti mulai dari mana. Aku bener-bener suka sama kamu. Tapi kenapa sikap kamu menunjukkan seolah-olah kamu nggak suka sama aku?”
“Bukan begitu, Tyo..”
Dengarin aku aja,” putusnya, “Sepertinya hubungan kita cukup sampai sini aja. Aku udah nggak tahan.”
Aku kaget akan ucapannya. Hatiku seakan-akan dihantam ombak yang besar.
Mana yang bener? Remuk atau kelelep?
“Aku nggak bisa hidup setengah-setengah,” lanjutnya.
Beberapa menit kami hanya terdiam.
“Aku tahu. Selama ini aku juga belum bisa ngerasain hangatnya cinta. Atau mungkin cinta itu sendiri belum mau hadir dalam hubungan kita, aku nggak tau. Tapi aku yakin, kalau ini emang jalan yang terbaik buat kita, pasti semuanya akan baik-baik saja,” kataku lirih.
“Maafin aku.. Aku nggak bermaksud nyakitin hati kamu.”
“Kamu nggak nyakitin aku. Aku lebih suka kalau kamu mau jujur dan apa adanya ke aku daripada harus menahannya terus-terusan. Malah seharusnya aku yang harus minta maaf ke kamu karena akulah yang ngebuat semuanya jadi terasa hambar.”
“Kamu nggak salah. Mungkin ini emang bukan takdirnya. Sekali lagi maafin aku.”
“Iya.”
“Em, aku harus pergi,” katanya sambil berdiri meninggalkanku.
Aku hanya bisa mendengar langkahnya yang menjauh. Aku sama sekali tak berani menatapnya karena aku takut bendungan air di mataku jatuh.
Aku tak tahu mengapa aku menangis. Padahal aku sama sekali nggak merasa sedih. Dalam hatiku rasanya bahagia banget malahan bisa bebas dari belenggu dan keterikatanku selama ini.
“Mau ikut?” tanya Dyne tiba-tiba menyebelahiku.
Aku buru-buru mengusap mata.
“Kamu nangis?” tanyanya lagi.
“Kelilipan.”
Terlalu biasa!
“Kelilipan kerikil?”
“Oh, bukan! Batu doang, kok!” Aku terdiam sejenak. “Iya, iya! Aku emang nangis barusan!” sentakku kemudian.
“Kenapa?”
“Enggak papa. Aku.. Aku cuma terharu karena barusan aku dengar kabar orang tuanya temenku nggak ada,” jawabku boong.
“Oh.. Aku ikut sedih. Jadi gimana? Kamu mau ikut nggak?” ulang Dyne.
“Ke mana?”
“Ketemuan lagi ma Evan sama siapa tuh namanya?”
“Arda,” jawabku.
“Nah, Arda!”
“Enggak, ah!”
“Kenapa? Katanya kamu pengen banget ketemu sama mereka?”
“Nggak sengotot itu, kali?! Hipos, ah! Aku nggak bisa. Aku lagi pengen sendiri aja.”
“Sialan! Bilang aja kalo mau ngedate lagi sama Tyo,” tambahnya sambil beranjak meninggalkanku.
Aku hanya bisa tersenyum kecil.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku sakit. Udara malam membuatku flu. Bukan gara-gara mikirin orang macam Tyo. Tapi lebih tepat karena semaleman begadang nonton Spongebob movie yang barusan aku pinjem. Aku menonton bersama Mbak Asih di teras belakang karena TV di kamarku kabel antenanya putus dimakan Tyo. Bukan! Tikus!
Tak kusangka temen-temen datang menjengukku. Mereka berempat langsung ke rumah setelah tahu aku nggak masuk pagi itu.
“Kamu sakit?” tanya Abel yang pertama membuka pintu kamarku dan duduk menyebelahiku. Baru kemudian yang lain menyusul masuk.
“Enggak. Nggak enak badan aja, kok! Biasa enter wind..”
“Alah sok ngInggris, kau.. Bilang aja masuk angin!”
“Kacang medenya masih, kan?” Faren berlari kecil ke meja tulis dan mendapati sebuah toples kosong. Wajahnya kelihatan ditekuk.
“Minta aja sama Mbak Asih,” kataku. Segera Faren pun bersemangat 45 mencari Mbak Asih.
“Oh, ya! Kamu ditanyain sama mereka lho!?” kata Ela kemudian.
“Mereka siapa?” aku masih nggak ngerti arah jalan ceritanya.
“Si Evan sama Arda. Kami kan cerita juga tentang kamu di pertemuan sebelumnya dan janji ngajak kamu dateng semalem. Eh, kamu malah nggak bisa ikut!”
“Maaf, yah. Sampein salamku ke mereka aja.”
“Ngomong-ngomong hubungan kamu sama Arda udah sedekat apa sih kok semalem kayaknya kalian deket banget?” tanya Dyne pengen tahu sambil mengobrak-abrik koleksi DVD filmku.
“Kayak nggak tahu Ela aja, Dyn!” potong Abel, “Tiap malem SMSan terus.. Sampai bosen nih kuping dengerin curhatan dia!”
“Jadi udah resmi jadi selingkuhan kamu tuh orang?” tanyaku sambil berusaha duduk.
“Udah!” Faren memotong pembicaraan itu sebelum Ela sempat menjawab. Cewek manis itu datang dengan dua toples kecil kacang mede dan satu kaleng panjang keripik kentang. “Tau nggak? Ternyata di luar pengetahuan kita, dia diem-diem sering maen sama Arda! Gila aja, aku yang lebih dulu kenal Evan aja nggak ngebet banget..”
“Apaan, sih? Suka-suka, dong! Ini kan juga termasuk hak asasi..” bantah Ela.
“Hak asasi aturan baru?!” bantah Faren.
“Terus Reno?” tanyaku.
“Reno?! Yah, paling-paling kalo sampai tau dia bakal marah.”
“Dasar aneh! Otak kamu tuh kena virus apaan, sih?”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Dua minggu kemudian hasil ujian pun dibagikan. Aku sudah tak sabar menanti kedatangan Ega.
Malam itu aku masih bersenang-senang bersama teman-teman lainnya di rumah ketika telepon di kamarku berdering.
“Halo, selamat malam.”
“Malam,” kata orang di seberang, “Ini Ega. Bisa jemput aku nggak sekarang?”
“Ega?! Kamu udah di sini?!!” jawabku kegirangan. “Suaramu tambah gedhe! Udah sunat, yah?”
“Dasar cerewet! Bisa jemput aku nggak, sih?”
“Kamu di mana?”
“Di bandara.”
“Iya deh, aku ke situ.”
“Ya udah, aku tunggu di depan.”
Aku meletakkan gagang telepon setelah Ega menutup pembicaraan. Segera kuganti pakaianku dan dengan paksa mengusir temanku satu persatu.
“Yah, masa kita diusir, sih?” rengek Abel manja.
“Aduh, tolong banget, ya?! Maaf, aku nggak bermaksud gitu. Tapi aku ada tamu kehormatan nih..”
“Kamu nggak sopan banget sama kita-kita,” Dyne ikut-ikutan ngomel waktu kudorong mereka keluar rumah.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aduh, mana sih si Ega?! Dari tadi nggak nemu juga! Jam tanganku udah nunjukkin jam setengah delapan malem. Tiba-tiba lengan seseorang melilit leherku dari belakang. Cukup erat, membuatku hampir sesak karena tercekik.
“Ega?!” aku kaget melihat Ega saat aku berbalik. Wajahnya masih sama seperti dulu, bening dan imut, hanya saja dia bertambah tinggi beberapa senti.
“Hai!” sapanya.
“Ega!! Kamu tinggi banget. Pake egrang jangan-jangan?” Aku melepaskan tangannya. “Tapi kamu tetep nggak berubah, ya? Sama aja kayak dulu,” kataku sambil berjalan beriringan dengannya menuju mobil.
“Makanya minum susu, dong, biar tinggi. Ngomong-ngomong kamu banyak berubah, ya?”
“Apanya yang berubah? Perasaan enggak, deh!”
“Kamu jarang ketawa, ya? Pantes kelihatan tua!”
“Apaan, sih?” Aku memukul lengan Ega kuat-kuat. “Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu nggak jawab pertanyaanku di telepon tadi?”
“Yang mana?”
“Kamu udah beneran sunat?”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Masuk,” kataku mempersilakan Ega masuk ke ruang depan. Mbak Asih buru-buru ke belakang setelah membukakan pintu.
“Papa kamu mana? Kok nggak liat?!”
“Ega, ya?” potong papa yang tiba-tiba sudah berdiri di bawah tangga—mungkin niatnya nyamar jadi guci.
“Om..” kata Ega sambil berjalan ke arah papa.
“Apa kabar, Ga!?” tanya papa sembari memeluk Ega.
“Baik, Om,” Ega dan papa pun beranjak ke tempat duduk, “Om gimana?” tanya Ega kemudian.
“Om baik juga. Oh ya, malam ini kamu tidur sini aja dulu, besok baru kamu balik ke tempatmu.”
“Iya, rencananya juga begitu,” jawab Ega sambil mengeluarkan beberapa tas plastik dari dalam tasnya.
”Apa itu, Ga?” tanyaku sambil membawa tiga cangkir kopi panas untuk kami bertiga.
“Oleh-oleh kecil, aku beli di dekat rumah.”
Kubuka pelan-pelan bingkisan itu. Sepasang anting dari untaian kerang berwarna olive green senada dengan kalungnya. Di bebarapa sisi kerang itu tampak goresan-goresan alami yang berkilau putih agak-agak cokelat. Lucu sekali.
Untung udah mati. Coba masih hidup?! Nggak akan lucu jadinya.
“Cantik sekali.. Makasih, ya?”
“Emang buat kamu?!”
Aku agak kecewa, “Terus kenapa dikeluarin?”
“Kamu seneng?” Ega malah bertanya terheran-heran.
“Iyalah, aku seneng. Kenapa?” aku berbalik tanya.
“Kamu kan bukan tipe feminin..”
“Iya juga sih, tapi nggak salah kan, kalo aku pake ini suatu saat. Bagaimanapun aku juga wanita tulen. Iya kan, pa?”
Papa mengangguk tanpa memandangku. Pikirannya sibuk mengiling-iling pipa gading oleh-oleh dari Ega.
“Ya udah, itu emang buat kamu, kok.”
“Kakakmu mana?”
“Belum pulang. Entar malem mungkin.”
“Kalo gitu kamu buruan tidur aja,” kata papa sambil berlalu meninggalkan kami berdua berkangen-kangenan.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Siang tadi Ega sudah kembali pulang ke rumahnya yang dulu. Masih sama, ia tetap tinggal bersama Pak Tua yang semakin tua dan seorang pembantu baru.
Aku merasa senang karena kehadiran Ega benar-benar bisa membuatku tersenyum lagi, setidaknya untuk tersenyum lebih lebar. Ega adalah satu-satunya sahabat yang benar-benar bisa mengerti aku. Dan mungkin begitu juga dengannya, hanya akulah sahabat yang bisa mengerti dia.
“Malam ini ikut aku jalan-jalan, ya?” ajak Ega saat menjemputku dari rumah Faren.
“Ke mana? Enggak ah, aku mau nonton sama temen-temen.”
“Yah, kamu kok gitu. Aku kan pengen lihat keadaan kota ini setelah lama aku tinggal pergi. Atau mentang-mentang kita udah lama nggak ketemu, terus kamu udah nggak nganggep aku temen lagi, ya?”
“Bukan begitu Ega yang manis. Masalahnya, ini hari terakhir filmnya diputar. Bisa-bisa aku ketinggalan, lagi!?”
“Kamu kan bisa pergi sama aku nanti malem!”
“Bener?!”
Ega mengangguk pasti berulang-ulang.
Inget mainan monyet yang bisa ngangguk kalo diputer di bagian belakangnya?! Nah, itu yang lagi baca!
“Ya deh, kalo gitu aku mau.”
Dan dalam beberapa hari ini, aku mudah sekali melupakan Tyo. Liburanku selalu diisi dengan kebahagiaan karena sahabat yang benar-benar bisa mengerti aku telah kembali..
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Faren, kapan aku bisa ketemu Evan?” tanyaku siang itu setelah capek berthawaf mengitari pameran komputer.
Aku harus menemani Faren mencari barang aneh untuk kakak perempuannya yang kuliah di arsitektur. Kalo nggak salah denger namanya graphic tablets CAD.
“Kapan, ya? Aku belum sempat ngomong sama dia, nih! Lagian dulu salah ndiri nggak ikut!” Faren mengutak-atik i-pod barunya.
Karena nggak nemu itu barang, akhirnya ia beli sebuah i-pod baru.
“Tapi kan aku juga pengen ketemuan..”
“Ya udah deh, entar malem aku suruh dia usahain datang. Tapi kayaknya Abel, Dyne ma Ela pada nggak bisa dateng tuh..”
“Kenapa?”
“Mereka bertiga kan dihukum nggak boleh keluar sama orang tuanya gara-gara nggak pulang semaleman, tidur di rumahku.”
“Emang mereka nggak pamit?”
“Tau!” jawabnya cuek nggak mau tau.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Malam itu aku dan Faren pun sepakat untuk bertemu dengan Evan di sebuah kafe kecil di depan sebuah butik yang kecil pula, namanya kafe Cokelat. Semua benda yang ada warnanya cokelat semua. Dari meja, cat, alas meja, sampai seragam mereka pun cokelat. Pelayannya pun nggak ada yang berkulit putih. Aku dan Faren belum pernah masuk sini sebelumnya, tapi karena Faren ngotot pengen ngrasain menu cokelat yang emang jadi menu spesial, aku terpaksa nurut aja.
Aku dan Faren sudah terlalu lama menunggu di sana, sekitar setengah jam lah!
Tak lama kemudian, dua orang turun dari motornya. Bukan! Ini bukan motor model cowok yang sering diagung-agungkan dalam novel. Tapi kali ini motor automatic dengan modif di mana-mana. Yang satu berpawakan tinggi kurus –nggak kurus-kurus banget, sih- dengan hem lengan panjang kotak-kotak merah, sedangkan yang satu lagi badannya sedikit lebih pendek, sekitar 175-an lah dengan kaos oblong ungu muda dan celana jeans panjang.
“Hai!” sapanya yang berkaos ungu.
”Kamu Evan, yah?”
“Bukan,” dia tersenyum kecil. “Itu Evan,” katanya sambil menunjuk ke arah manusia berhem yang tiba-tiba udah asyik ngobrol dengan Faren. Sial! Salaman sama aku aja enggak! Bener-bener nggak tau tata krama.
“Oh, jadi kamu Arda? Aku..”
“Temen-temenmu udah cerita banyak tentang kamu,” potongnya saat aku ingin memperkenalkan diri. “Gimana kabar cowok kamu itu?”
“Cowok?”
“Siapa itu namanya? Tyo, ya?”
“Oh, itu. Kami udah putus, kok.”
“Hah?! Beneran? Kok mereka nggak cerita? Yang sabar, ya?” Arda duduk menyebelahiku, tepatnya di sebelah kanan.
“Kamu gimana sama Ela?”
“Doain aja deh kita bisa jadian. Bosen juga aku pacaran diem-diem gini di balik cowoknya, si Reno.”
“Jadi Ela cerita ke kamu tentang Reno?” Aku baru ingat belum menawarinya minum sejak ia datang tadi. Kupanggil seorang pelayan dan memesan minum untukku dan Arda.
“Kok belum dijawab?” tanyaku lagi setelah pelayan itu pergi.
“Iya, dia emang cerita ke aku kalo aku ini emang dia jadiin tempat selingkuhannya dia.”
“Selingkuhan?!”
“Bukan, bukan! Asuransi!” ralatnya.
Aku tersenyum sambil membuang muka ke arah jalan.
Nggak akan ada yang marah, kan, kalo buangnya di jalan?
“Tuh cewek emang udah beneran gila! Aku bener-bener nggak ngerti apa yang sebenernya ada di pikiran dia. Padahal kami udah kenal lama.”
Pelayan itu datang lagi membawa dua gelas bening berisi caran berwarna cokelat kental di dalamnya. Melihatnya saja aku jadi eneg.
“Apaan nih, Mbak?” tanyaku pada pelayan itu.
“Itu menu spesial kami. Kan Embaknya yang pesen!”
“Ini Kosiamalavo Soyalivoela Chocho Cocus Siovelanoe?” tanyaku nggak percaya sambil membaca tulisan di menu yang aku pilih.
Sang pelayan mengangguk pelan.
“Kentel banget?” Aku bermain-main dengan cairan kental berlendir itu menggunakan pipa sedotanku. “Ada air putih nggak?”
“Maaf, Mbak. Semua yang ada di sini semuanya cokelat.”
“Ya udah deh. Air putih warna cokelat juga nggak papa.”
Pelayan itu pergi sambil sesekali ngedumel di belakang. Mungkin karena aku terlalu banyak protes dan nggak konsekuen dengan pesananku.
“Kamu lucu,” kata Arda lirih.
“Apa? Lucu kenapa?”
“Nggak papa. Buruan diminum,” Arda mengalihkan pembicaraan.
Aku meminum seteguk. Lalu nyengir-nyengir sendiri karena eneg ngrasain air cokelat campur mint. Belum lagi rasa benda berlendir yang saling menggelitik di tenggorokan.
“Aku boleh minta bantuan kamu?” tanya Arda tiba-tiba. Bulu matanya ternyata lentik.
“Masalah apa? Tumben ada orang minta tolong ama aku.”
“Kamu mau nggak?”
“Selama aku bisa, aku akan bantu.”
“Kalau gitu tolong aku buat misahin Ela sama Reno, dong. Biar aku nggak jadi selingkuhannya dia lagi. Gimana?”
“Nggak, nggak bisa banget!” tolakku. “Lagian kenapa sih kamu milih aku? Kan masih ada temen-temen lain yang bisa ngertiin permintaan kamu ini?”
“Enggak, enggak ada yang bisa selain kamu. Okeh, aku yakin kamu pasti bingung kenapa aku milih kamu. Jadi gini, kata temen-temen hanya kamu yang bisa ngejaga rahasia jika dibanding yang lain.”
“Bagaimana kamu bisa mengenalku padahal ini untuk pertama kalinya kita ketemu? Pokoknya nggak bisa!” tegasku.
“Tolong! Aku minta tolong banget sama kamu. Aku juga udah tahu semuanya dari Faren. Aku punya kartu asmu tentang Tyo”
“Hah?! Nggak mungkin. Kamu boong, kan?”
“Beneran!”
“Sial! Tapi aku nggak yakin.”
“Kamu harus yakin. Kamu juga nggak mau kan membuat orang lain kecewa gara-gara kamu?”
Aku terdiam sesaat. “Kalau itu sih.. Aku nggak bisa janji tapi aku coba deh!”
“Makasih, ya?”
Aku mengangguk pelan. Sekali lagi kuteguk air kental itu. Entah mengandung putau atau apalah, rasanya aku jadi ingin nyobain lagi.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Ega! Buruan dong makannya! Aku ada janji, nih, ama si Arda!” Aku terus saja merengek pada Ega. Dari tadi ia makan lama banget.
“Iya, bentar. Ini juga udah cepet,” jawabnya dengan mulut penuh makanan.
“Aduh..”
“Kalau kamu mau pulang dulu, ya udah pulang duluan aja sana!”
“Kamu kok gitu, sih? Masa aku kamu suruh jalan?”
“Ya makanya tunggu, dong!”
Sepuluh menit kemudian aku dan Ega sudah duduk di mobilnya. Aku masih cemberut gara-gara manusia satu ini.
“Hey,” Ega menyenggol kepalaku dengan tangan kirinya.
Aku masih diam.
“Heey!” Ega mengacak-acak rambutku karena jengkel dicuekin.
“Apaan, sih?” aku mengibaskan tangannya dan merapikan rambutku.
“Jangan marah, dong! Emang dia cowok baru kamu apa? Sampai telat sebentar aja kamu marah-marah.”
“Bukan lah! Tapi gimana lagi, Ga! Dia itu minta aku buat bantuin dia.. Aku kan udah pernah cerita ke kamu seminggu lalu!”
“Terus sekarang apa Reno udah mutusin si Ela?”
“Yah belum sih.. Baru akan paling!”
“Alah, percuma kamu repot-repot ngomong ke Reno dan buang-buang pulsa selama ini. Toh dia juga belum mutusin temenmu itu.”
“Namanya juga usaha, Ga.”
“Hak!” kata Ega.
“Apaan?”
“Hak..” Ega menunjuk-nunjuk karton berisi kentang goreng di atas pangkuanku yang sedari tadi terus menerus mengisi mulutku. Aku menyuapkan sepotong ke mulutnya. “Lagian kamu dapat konsekuensi apa sih? Mau-maunya,” lanjutnya.
Jigongnya bersatu dengan kentang.
Kisah kentang semakin menderita saja..
Sudah sakit masih harus bercampur jigong..
“Nggak ada sih! Tapi kan aku orangnya nggak tegaan.”
“Gimana kamu bisa maju kalo terus kayak gini? Dulu Tyo, sekarang Arda.” Ega berdecak.
“Abis gimana lagi?!”
“Hak!”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Aku putus,” kata Ela pagi itu di hari pertama masuk sekolah setelah libur selama dua minggu. Hari ini juga hari pertama Ega masuk ke sekolahnya yang baru, walaupun nggak sekelas sama aku.
“Putus?” tanyaku kaget dan sekalian memastikan.
“Iya. Kemarin dia bilang aku nggak pantes lagi jalan sama dia.”
“Sekarang kamu baru ngrasain rasanya dikecewain orang, kan?” Faren geleng-geleng kepala mendengarkan lagu sambil sesekali menekan tombol-tombol di i-pod barunya lagi—yang kemarin dihancurin kakaknya karena nggak sesuai pesanan.
“Iya.”
“Nah, gitu kamu ngerti?” Dyne tiba-tiba dateng dengan empat kaleng softdrink di tangannya.
“Aku nggak kecewa karena diputus,” Ela berkata lirih.
“Terus?”
“Aku kecewa nggak bisa morotin dia lagi.”
“Kamu nyadar kenapa sih?!” komenku dan Dyne hampir bareng.
“Aku sadar dan aku juga masih waras. Tapi sekarang masalahnya aku jadi tambah bingung.”
“Bingung masalah apa lagi? Kamu kan udah punya serepan!”
“Karena banyak serepan itu makanya aku jadi tambah bingung!”
“Banyak serepan?” tanya kami bertiga kaget. Untung Abel masih di Bali, kalo enggak pasti dia udah pingsan ngedengerinnya.
“Ada dua orang lagi sih selain Arda. Aku bingung mau make yang mana,” jawab Ela santai.
Wah! Gila bener nih anak. Tapi paling enggak usaha yang aku jalankan dua minggu terakhir ini udah membuahkan hasil.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Jadi bener dia udah mutusin si Ela?” tanya Arda kegirangan saat aku memberitahu tentang hubungan Reno dan Ela sekarang. Saat itu aku dan Ega sedang terlibat pembicaraan mengenai Ela sepulang dari mall. Ega memang tidak terlalu banyak bicara karena ini pertama kalinya ia bertemu Arda dan juga pertemuan ini terjadi secara tak sengaja.
“Yah, kurang lebih begitu. Jadi mana balasan kamu buat aku?”
“Balasan apa?”
“Makan kek, apa kek gitu. Masa nggak ada sama sekali?”
“Ya udah deh, sekarang aku traktir kalian berdua makan!”
“Aku juga?” Ega menunjuk dirinya sendiri.
“Iya.”
“Kalau gitu kita makan di situ aja,” ucap Ega sambil menunjuk sebuah restaurant Jepang yang terkenal mahal walaupun sudah didiskon hampir 80%.
“Boleh.”
Tak lama kemudian kami sudah berhadapan dengan makanan pesanan kami masing-masing.
“Ega,” panggilku karena melihat Ega makan terlalu cepat.
“Apa?” Ega mendongak.
“Pelan-pelan dong!”
Arda tersenyum.
“Habis aku laper banget. Dari tadi aku ngajak kamu makan nggak mau. Kan capek muter-muter mall segedhe galaksi gini?”
“Iya, maaf. Ngomong-ngomong gimana kelas pertamamu tadi?”
“Emm..” Ega menelan makanannya lalu ia meneruskan kata-katanya, “Asyik. Mereka kayaknya seneng dengan kedatanganku. Mungkin karena aku cakep kali, ya?” Ega kelewat narsis.
“Kalo kamu cakep itu emang udah pasti, Ga!”
Ega tersenyum dikulum.
“Pasti boongnya!” lanjutku.
Ega melirikku sambil mencibir. Arda hanya tertawa.
“Tapi, Ga. Jujur, aku lebih seneng kamu yang sekarang. Kamu bener-bener berubah dan nggak pemalu lagi.”
“Ega gitu?!”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Dia bodoh, ya,” ucap Ega tiba-tiba saat dia mampir di rumahku sepulang dari makan. Dilipatnya kedua kakinya. Sesekali ia memetik gitar yang ada di tangannya.
“Siapa?” tanyaku sambil membenahi dudukku. Ega duduk di lantai, tepat di samping sofa tempat aku asyik tiduran sambil membaca majalah edisi terbaru minggu ini.
“Arda. Udah tau dijadikan selingkuhan masih mau nerima si Ela.”
“Namanya juga cinta, Ga!”
“Emang nggak ada cewek lain apa? Lagian apa, sih, kelebihannya Ela?”
“Tau! Kelebihan nafsu, kali! Tadi aja dia bilang masih bingung mau nerima Arda apa serepan dia yang lainnya!” Aku membalik halaman majalahku, nirmala dan oki.
“Gila. Bener-bener nggak waras!” Ega memainkan nada-nada mallow. Kalau aku nggak salah denger itu sih lagunya SO7, tapi agak nggak jelas gitu. “Kalau emang Arda suka sama Ela, harusnya dia nggak bakal mau dong ngakuin Reno sebagai pacarnya Ela?”
“Lho, nyatanya emang gitu, kok!” Aku bangun dari tidurku dan duduk bersila di atas sofa. “Lagian kalo Arda emang udah netapin hatinya buat Ela kita bisa apa coba? Mau kita larang gimana pun juga nggak akan bisa, meski kita tahu kalo Ela itu emang bukan orang yang cocok buat Arda.”
“Iya, iya! Percaya, yang udah pernah pacaran,” Ega berdiri, meletakkan gitarnya lalu ke belakang mengambil air putih. Saat itu aku tersadar kalo senar ketiga dan kelima gitar itu udah putus.
“Apaan, sih, Ga?! Aku tersinggung, nih!” kataku setengah berteriak sementara Ega pergi ke belakang.
Tak lama kemudian ia kembali dan duduk di sofa menghadapku.
“Jangan-jangan kamu suka, yah, sama Arda?” aku coba menebak-nebak.
“Emang aku homo?!”
“Kalo gitu sama Ela?”
“Enak aja! Mending juga suka sama kamu.”
“O, yah?”
“Jangan GR dulu, dong! Kalo suruh milih kamu sama Mbak Asih, aku udah tentu milih apel!”
Nggak nyambung!
“Nggak pernah terlintas di pikiranku kalo kamu bakal nghianatin aku,” ucapnya lagi.
Aku bingung apa yang ia maksud. Jujur saja aku sedikit terkejut akan perkataannya. “Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.”
“Aku pikir kamu akan nunggu aku. Ternyata kamu malah pacaran lebih dulu sama Tyo.”
“Kan aku dah bilang aku nggak serius suka ama Tyo?”
“Iya, iya. Nggak usah keras-keras ngomongnya!” Ega mengambil bantal di pojok sofa, membenahinya lalu meletakkan kepalanya. Kakinya sengaja dijejakkan di atas pahaku. “Emang urusanku kamu mau pacaran lebih dulu apa enggak? Aku juga cuma tanya. Cariin aku cewek, dong. Aku mau melepas masa jombloku, nih..”
“Bilang kek dari tadi tujuannya itu. Nggak usah bertele-tele sampe kata-kata pengkhianatan segala, kan? Nggak enak rasanya nih ati.” Kulempar majalahku ke arahnya. Tapi mengenai tangannya.
“Tolong, yah?”
“Emm.. Berarti ini pacar pertamamu, yah? Harus yang perfect dong?”
“Enggak juga! Buktinya pacar pertamamu bukan cinta sempurna!”
“Terserah deh mau ngomong apa. Aku nggak mau bantuin kamu!” Aku berlari menuju kamar. Ega mengejarku sambil merengek-rengek minta maaf. Tapi sebenernya aku cuma bercanda.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Bisa kita ketemu sekarang?” tanya suara itu parau dari seberang telepon.
“Nggak bisa. Maaf banget. Aku lagi jalan bareng Ega,” jawabku setengah berteriak. Suasana sekitar sangat bising karena aku dan Ega sedang berada di tengah pasar. Sore itu aku menemani Ega mencari buku pelajaran di tukang loak. Katanya buku-buku seperti itu jauh lebih lengkap dibanding buku jaman sekarang.
“Siapa?” tanya Ega sambil mebalik-balik cover buku besar bewarna biru tua dengan judul Matematika itu Mudah—ada, ya?—.
“Arda,” aku berbisik.
“Tapi aku perlu kamu sekarang..” suara Arda benar-benar terdengar parau.
“Kamu nggak papa kan, Da?”
“Tolong banget. Aku butuh kamu.”
“Okeh. Kamu di mana sekarang?”
“Aku di taman kota. Tolong cepet.”
Tuut..tuut..
Arda menutup teleponnya. Aku merasa aneh dengan Arda kali ini. Nggak biasanya banget Arda terdengar selesu ini.
“Ga,” panggilku.
Ega hanya mengangkat alisnya tanpa memperhatikanku sama sekali.
“Aku harus pulang sekarang. Gimana?”
“Yah, aku kan belum selesai?” rengeknya sambil menghadapkan muka kepadaku.
“Buku sebanyak ini apa masih belum cukup?” Aku menunjuk dua kardus mie berisi buku-buku paket lama yang ada di samping seorang kuli pasar yang dibayar Ega untuk membantu membawanya.
“Tapi kan..”
“Terserah,” aku memotong kata-katanya, “Yang jelas sekarang aku ada perlu, Ega. Kalau kamu masih mau di sini, ya silakan. Tapi kamu pulang sendiri.”
“Naik apa coba?”
”Kamu kan bisa naik becak?”
“Ah, ogah!”
“Ya kalo gitu jalan aja!”
“Saya harus ikut jalan juga sampai rumahnya Masnya?!” sang kuli ikut-ikutan nguping.
“Nggak, nggak perlu. Mendingan aku ikut kamu pulang sekarang.”
“Ya udah kalo gitu.”
“Tolong bawain sampai mobil ya, Pak!”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku memutar mataku mencari Arda. Akhirnya kutemukan dia sedang duduk termenung di atas bangku panjang. Aku berjalan mendekat.
Aku hendak menyapanya dengan senyum seperti biasanya, tetapi niatku terurung karena kulihat ada baterai terlepas dari handphone Arda dan terserak di atas rerumputan bersama segala komponen yang menyertainya, tak terlupakan bakpia.
Aku duduk menyebelahinya. Rupanya dia belum sadar akan kehadiranku. Kurapatkan lagi tubuhku. Baru akhirnya dia menyadarinya.
“Kamu sudah datang?”
“Belum. Ini arwahku saja yang datang.” Aku berusaha menghiburnya.
Tapi dia tetap diam.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
Ia tersenyum sambil menahan air mata. Saat itu aku berharap sekali ia tak menjatuhkan air matanya karena aku nggak ingin memberinya label sebagai lelaki cengeng dengan tampang lumayan keren.
“Aku sakit.”
“Sakit?” tanyaku. Aku menempelkan punggung tanganku dan merasaka panas tubuhnya. “Tidak panas.”
Ia meraih tanganku yang masih ada di keningnya. Disentuhkannya telapak tanganku di dadanya.
“Di sini, di sini yang sakit,” katanya kemudian.
Aku melepas tanganku. “Ela lagi?”
Arda mengangguk.
“Aku bener-bener nggak tau harus gimana lagi saat ini. Ela bener-bener udah bikin hatiku sakit.” Arda menyatukan kedua tangannya dan menempelkannya di ujung hidung.
“Arda, kamu harus kuat.”
“Aku nggak bisa.” Arda balik menatapku, “Kamu tahu aku begitu mencintai Ela, dan aku yakin Ela juga tau. Tapi kenapa ia tega ninggalin aku dan jalan sama orang lain lagi?”
“Di mana kamu lihat dia? Jangan-jangan dia kakaknya?”
“Bukan. Aku yakin bukan. Aku lihat mereka berciuman di depan sekolah saat aku mau menjemputnya.”
Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Suasana begitu hening untuk beberapa saat.
Ela sudah melakukan aksi pornografi dan pornoaksi di depan umum..
“Aku nggak tahu kalau bakal seperti ini kejadiannya. Aku bener-bener nggak tahu. Ela barusan telepon aku. dia bilang dia nerima cowok lain buat jadi pacarnya.”
Arda terdiam.
“Maafin aku, Da.” Aku menggenggam tangan kirinya erat dengan kedua tanganku. “Aku bener-bener minta maaf.”
“Kamu nggak salah,” Arda menimpakan tangan kanannya di atas genggaman tanganku.
“Aku tetep salah, Da. Bagaimanapun, akulah orang yang udah ngasih harapan ke kamu buat ngeyakinin hati Ela cuma buat kamu. Aku yang salah.”
“Ssstt..” Arda menaruh telunjuknya di bibirku. “Kamu sama sekali nggak salah. Kalau aku nggak minta kamu untuk nolong aku, nggak akan kayak gini jadinya.” Arda melepas telunjuknya.
Perlahan air mataku menetes. Sepertinya hatiku goyah lagi. Aku menyesal telah mengecewakan orang yang sudah mempercayaiku. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Aku malah berterimakasih banget sama kamu. Tanpa kamu mungkin aku nggak akan tau ini semua dan selamanya aku akan menjadi selingkuhannya. Selamanya aku akan terpenjara oleh rasa cintaku sendiri. Dan kalaupun hatiku hancur sekarang, itu sudah pasti bukan karena kamu, tapi karena Ela,” katanya kemudian. Pandangannya kosong menatap handphonenya yang sudah tidak berbentuk lagi.
“Tapi, aku ingin kamu menuhin permintaanku.” Aku menghapus airmata di kedua pipiku.
“Apa?” tanyanya sambil menghadap ke arahku.
“Kamu jangan membencinya. Bagaimanapun dia masih temanku. Dan kalau kamu membencinya itu berarti kamu membenciku juga.”
“Iya. Aku janji.”
Malam itu kuhabiskan waktuku di taman bersama Arda. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya dan apapun yang dianggapnya menarik. Ternyata Arda orangnya enak juga, nyambunglah paling tidak. Dan di sini aku bener-bener dituntut untuk menjadi pendengar yang setia. Tapi meski begitu, aku sama sekali nggak bosen mendengarkan ceritanya. Aku sangat merasa nggak enak udah membuat dia kecewa.
“Makasih udah nemenin aku malam ini. Aku nggak salah milih kamu sebagai temen.”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
3.
tiGa
Aku sendiri nggak tahu kenapa. Mungkin sejak saat itu hatiku jadi berpihak pada Arda. Aku jadi lebih sering bertemu dengan Arda, dan tentu itu semua di belakang teman-temanku.
Baru kali ini juga aku menutupi sesuatu dari Ega: kedekatanku dengan Arda. Biasanya aku bisa terbuka dengan Ega. Tapi sepertinya kali ini aku merasa sulit mengawalinya. Sementara itu aku lupa akan janjiku sendiri untuk mencarikan sahabat sejatiku itu seorang jodoh.
Berkat Ega aku jadi jarang kesepian setiap paginya. Aku bisa melupakan mamaku walau kadang terlintas lagi rasa benci yang sudah menumpuk belasan tahun itu. Tapi karena Ega pikiran itu bisa kubuang jauh-jauh dan berganti menjadi topik yang lain tanpa harus mengubah rasa benci itu sendiri.
Bagaimana dengan Topik Hidayat?
Papa juga lebih menikmati hidupnya sekarang. Apa mungkin karena melihat aku bisa tertawa kembali? Sudah aku ceritakan sebelumnya, ini berkat hadirnya Ega. Kak Rico juga lebih sering tidur di rumah sekarang dari pada di tempat pacarnya. Mungkin juga karena suasana di rumah menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Kak Rico,” kataku lirih.
Jarang sekali aku berbicara dengan manusia ini. Kita sangat dekat saat kecil. Tapi kemudian kakak berubah dingin. Seingatku, sih, sejak dia tak sengaja membaca surat yang ada di almari papa, surat dari mama untuk kami tentang kepergiannya. Dia merasa mama benar-benar jahat dan tak lagi mempedulikannya.
Saat itu kakak masih kelas 2 SMU dan aku masih kelas 3 SMP. Dia sempat marah kepada papa karena udah menutupi semuanya dari kita selama ini, bahwa mama telah meninggal –saat mama pergi kami memang masih sangat kecil dan belum mampu mengingat apa-apa-.
Aku juga menjadi lebih jelas akan kejahatan mama setelah itu. Dan dari situlah aku sadar bahwa aku mempunyai kesamaan dengan Ega.
Papa jadi lebih sering melamun dan kakak pun entah sibuk dengan apa di luar sana.
Ah.. Aku selalu lelah dan ingin sembunyi sedalam-dalamnya bila mengigat masa laluku. Nggak enak ah disebut masa lalu, karena sampai sekarang masih saja menyelimutiku. Tapi sekarang sepertinya semuanya akan segera berubah. Aku tahu papa dan kakak sangat meyayangiku, dan mereka pasti senang jika bisa melihatku tertawa lagi seperti dulu.
“Kak,” kuulangi perkataanku karena kakak tetap diam membatu melihat acara kartun di TV.
“Apa?” tanyanya.
“Kakak nggak marah kan sama aku?”
“Eggak. Buat apa aku marah sama kamu. Kamu kan adikku.” Kak Rico mematikan TV lalu duduk di atas sofa menyebelahiku.
Sesekali ia terbatuk. Akhir-akhir ini kakak memang sering batuk-batuk.
“Lalu kenapa selama ini kakak jarang sekali mau berbicara denganku apalagi dengan papa?”
“Kakak marah. Bukan, bukan..” Rico meralat kata-katanya, “Kakak hanya sempat marah aja sama papa karena nutupin kepergian mama dari kita. Dan itu bikin kakak sakit, nggak terkecuali kamu, kan? Kakak benci harus melihat kamu berhenti tertawa. Sejak saat itu keadaan rumah ini selalu di selimuti hawa setan, bukan begitu?”
Aku mengangguk. “Jadi sekarang kakak jadi kakakku yang dulu lagi?”
“Iya!” kakak mengacak-acak rambutku. “Aku seneng kamu udah bisa ketawa lagi.”
Aku tersenyum kecil.
“Ya udah, kakak balik ke kamar dulu. Udah malem, kamu tidur.”
Begitulah kehidupanku yang sekarang. Walau agak kaku tapi setidaknya lebih baik rasanya.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Malam ini aku bertemu lagi dengan Arda. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ega dan teman-teman yang lain. Arda menjemputku ke rumah karena papa masih di kantor dan kakak mana ingin tahu?
Aku dan Arda pergi ke sebuah tempat yang benar-benar sunyi. Kuburan? Di sana, di sebuah bukit kecil, tempat yang menurutku lumayan indah untuk menikmati malam. Tuh kan, bener kuburan.. Aku seperti kehilangan akal sehat. Kerasukan! Apa yang aku lakukan di sini? Cari pesugihan, yah?
Dugan yang salah! Malam itu kami bukan pergi ke kuburan, tapi di sebuah bukit di lembah gunung.
“Dingin, ya?” katanya lirih.
“Iya. Dingin banget.”
Arda menopangkan pantatnya di moncong mobil. Aku duduk di sampingnya. Lalu pelan sekali ia berkata, “Tapi nggak sedingin hatiku.”
“Maksud kamu apa? Sudahlah, Da. Ela emang udah bikin kamu sakit. Tapi jangan selamanya kamu..”
“Kamu mau bantu aku ngangetin atiku?” potongnya nyimpang.
“Hah?” aku nggak ngerti banget apa maksudnya.
Kalo dibakar kira-kira marah nggak, yah?
“Saat ini aku nggak punya pegangan untuk kujadikan teman dalam hidupku. Aku benar-benar merasa kesepian. Hari-hariku selalu sunyi. Aku butuh teman.”
“Mau apalagi? Aku sudah jadi temanmu..”
“Bukan itu maksudku. Aku butuh kamu bukan sekedar sebagai teman. Tapi sebagai seorang yang selalu mengerti aku, selalu setia saat aku sakit ataupun tidak, dan juga bisa menerima aku apa adanya.”
“Aku sudah melakukan apa yang kau minta sepenuhnya, kan?”
“Belum, kamu belum melakukannya sepenuhnya.” Arda berpindah tempat berdiri di depanku dan menggenggam kedua tanganku.
Aku hanya diam, tak bisa berbuat apa-apa.
“Kamu belum menjadi milikku. Karena itu aku bilang kamu belum jadi temanku seutuhnya.”
“Maksud kamu apa?”
“Bisa nggak kamu nerima aku sebagai teman hidup?”
“Pacar maksudmu?” tanyaku agak terbata-bata karena kupikir bahasa yang ia pergunakan sangat bertele-tele dan itu membuatku bosan.
“Iya, seperti itu lah istilahnya.”
“Tapi aku nggak bisa,” aku melepas kedua tangannya, lalu melipat kedua tanganku sendiri di depan dada.
“Kenapa? Bukankah kita sudah cukup dekat?”
“Bukan itu masalahnya. Aku nggak mau dibilang makan temen, Da.”
“Maksudnya makan temen?”
Aku terdiam.
“Ela lagi!” katanya kemudian, “Ela bukan punyaku lagi. Kamu tahu itu, kan? Dia lebih memilih orang lain dari pada aku.”
“Tapi..”
“Aku mohon. Aku butuh kamu. Aku nggak mau hatiku hancur untuk kedua kalinya mendengarmu menolakku.”
Aku cukup lama membuat suasana sepi. Aku bener-bener nggak tahu apa yang sepantasnya aku keluarkan lewat bibir ini.
Sekali lagi, perasaan kasihan itu kembali muncul. Aku nggak tega melihatnya seperti ini, apalagi sampai membuat hatinya lagi-lagi harus hancur karena perempuan.
Hhh.. Aku menghela nafas.
Kalau aku menerimanya apa mungkin aku bisa menjadi pengganti cintanya yang hilang? Apa benar aku ini sudah jadi pilihan hatinya?
Aku sungguh dilanda kebingungan!
“Tolong jawab aku..” katanya kemudian melihatku hanya diam seribu bahasa.
“Aku.. aku nggak tahu keputusan yang aku ambil ini salah atau benar.”
Aku mengiyakan saja permintaan Arda kali ini. Entah, aku memang tak pernah belajar dari pengalaman, atau mungkin belum saja. Ini keputusanku.
Arda tersenyum. Kemudian diciumnya keningku hangat. Aku masih benar-benar merasa kaku.
“Aku nggak akan pernah ngecewain kamu, aku janji.” Arda menngangkat telunjuk dan jari tengahnya.
Kini giliran aku yang tersenyum. Lalu setelah itu aku hanya bisa merasakan bibirnya yang hangat dan lembut. Apa aku memang sudah gila? Kenapa aku merelakan ciuman pertamaku untuk orang macam dia? Apa ini memang yang disebut sebagai cinta?
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Kamu ke mana semalem?” tanya Ega saat perjalanan ke sekolah. Seperti biasanya pagi ini ia menjemputku.
“Semalem? Aku di rumah aja.”
“O, ya?Aku ke rumahmu, pengen ngajak kamu nonton, tapi kata Mbak Asih kamu lagi pergi.”
“Iya, ya? Aku pergi ke mall bareng temen-temen.”
“Oh,” Ega melepaskan pergelangan tangannya di lampu merah.
“Memang kenapa, Ga?”
“Enggak, nggak papa kok. Aku heran aja, kenapa kemarin waktu aku ke rumahmu temen-temenmu juga lagi pada nungguin kamu di sana, tapi karena kamu lama mereka pulang setelah aku datang.”
Aku benar-benar malu. Kedokku terbuka. Aku sudah berbohong sama Ega dan ini benar-benar membuat mukaku mati kutu.
“Maafin aku, Ga,” kataku kemudian.
“Maaf soal apa?”
“Ega, jangan kayak gitu dong. Aku ngerti aku salah. Aku udah boong sama kamu dan nggak jujur.”
“Aku nggak papa, kok. Kalo kamu emang nggak mau ngasih tau juga nggak papa, itu kan prifasimu!?”
“Bukan gitu, Ga. Aku berencana ngasih tau kamu. Tapi aku belum sempat.”
“Nggak usah dipaksain kalo kamu emang nggak pengen ngomongin masalah ini ke aku. Okeh?” Ega turun dari mobilnya dan segera pergi ke kelasnya. Sementara itu aku masih diam menyesali keputusanku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
4.
eMPaT
Hari-hariku rasanya nggak pernah lepas dari tawa. Hanya sesekali aku sering berpikir bahwa aku memang egois. Aku menutupinya dari teman-temanku. Bukan ini sisi egoisnya, tapi egois karena mendapatkan Arda untuk diriku sendiri, bukan untuk Ela seperti yang aku janjikan. Yah, walaupun hubungan ini nggak beda jauh dengan hubunganku sama Tyo..
“Kamu mau ke mana, Ren?” tanyaku pada Faren. Seperti hari-hari biasa kami selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dan ngobrol tanpa arah.
“Mungkin ke kedokteran.”
“Kalo kamu, Dyne?” tanyaku lagi.
“Doain aja aku bisa masuk ke sastra Jawa,” jawabnya santai.
Semua terperanjat sampai Ela merelakan kegiatan mengikir kukunya berhenti sejenak. Kebiasaan jarang ceboknya masih belum hilang. “Sastra Jawa?” tanyanya tak percaya.
“Iya. Emang salah, ya?”
“Enggak sih.. Cuma nggak nyangka aja kamu bakal masuk sana,”Abel tampak sibuk dengan hasil try outnya di salah satu bimbingan belajar. Ia pantas bangga karena dapat mengalahkanku untuk pertama kalinya.
“Kalo aku sih,” kata Ela, “Paling mau berhenti setahun dulu. Baru deh, setelah itu nyari kuliah.”
“Kenapa? Kenapa musti berhenti dulu?” tanyaku penasaran.
“Aku capek sekolah. Mikir melulu. Makanya aku pengen istirahat dulu setahun.”
“Oh, kirain mau nikah dulu?!” sindir Faren.
Nggak terasa banget dua bulan lagi aku lulus. Ujian nasional pun tinggal seminggu lagi. Tapi kenapa aku belum mulai serius belajar?
“Kamu mau ke mana?” tanya Dyne melihatku melamun.
“Entah. Aku pengennya sih ke teknik fisika. Tapi kemampuanku di bawah rata-rata,” jawabku polos dengan suara merendah.
Teman-temanku mengelus dada.
“Kalau kamu di bawah rata-rata kita ini kamu anggep apa?”
“Bukan gitu. Masalahnya aku ngrasa kalo aku nggak akan bisa masuk sana.”
“Kamu itu pinter. Jangan pesimis dong.”
“Entahlah!”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Malam harinya aku masih saja jalan bareng Arda. Sebenernya aku nggak mau ikut dan udah bilang mau istirahat seminggu untuk persiapan UAN. Tapi Arda bilang soal UAN itu gampang-gampang, nggak belajar pun bisa. Dan lagi, aku nggak tega ngelihat dia ngerengek-rengek.
Arda yang kukenal selama beberapa bulan terakhir ini adalah seorang cowok keren dengan sosok yang hangat. Aku suka sekali melihat tatap matanya yang dalam, seakan ingin masuk lebih dalam melihat isi hatiku. Aku selalu larut dalam hangat nafasnya setiap kali aku ingin marah.
Sebenernya Arda nggak jauh-jauh beda sama kakak. Dia dua tahun di atasku, dan ia pun satu kampus dengan kakakku, hanya berbeda jurusan. Tapi kakak tetap nggak tahu siapa Arda karena aku emang masih menutupinya. Yang tahu hanya aku, dia, dan yang di atas.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Pagi itu, dengan mata bengkak, aku pergi ke sekolah. Ega tidak menjemputku karena ia berangkat siang. Kulihat teman-temanku duduk berjajar di bangku seperti biasanya. Aku setengah berlari mendekati mereka. Aku selalu ingin tahu apa yang jadi topik hangat pembicaraan kita setiap harinya.
“Hai!” sapaku.
Mereka hanya diam. Raut wajah mereka sepertinya berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sedikit pun tidak ada senyum yang terukir dari bibir mereka. Mata mereka pun tak ada yang mau menatapku. Aku bingung.
“Ada apa, sih?” tanyaku lagi.
Tapi mereka tetap diam.
Aku putuskan untuk masuk ke dalam ruangan kelas dan meletakkan tasku. Aku mengira mereka pasti hanya mengerjaiku seperti waktu itu. Tapi tiba-tiba Ela berkata tanpa mengubah pandangannya yang kosong ke arah lapangan, menghentikan langkahku yang hendak pergi.
“Gimana rasanya ciuman? Enak, kan?” Ela menoleh ke arahku sementara aku masih membelakangi mereka..
Hatiku berdegub kencang. Apa lagi ini? Aku benar-benar takut ketahuan.
“Kenapa diam?”
Aku membalikkan badan.
“Senang rasanya punya cowok baru? Dapet dari mana, sih? Cowok temen kamu, ya?” Perkataan Ela benar-benar membuat hatiku semakin remuk. Aku tahu, inilah saat-saat kematianku. Kartu matiku sudah ada di tangannya.
“Aku.. aku nggak tau apa maksudmu..”
“Nggak tau?” potong Ela. Ia berdiri di hadapanku sekarang, menatap kedua mataku yang menunduk. “Tega, ya, makan temen sendiri! Bahkan kamu putus sama Tyo pun kamu nggak cerita.”
Aku mengangkat kepalaku dan mata kami pun beradu. Aku ingin melawan, tapi aku memang salah. Aku nggak bisa berkata apa-apa. Kulirik Faren yang sedang menghela nafas dalam. Sementara yang lainnya masih duduk santai di tempatnya dengan mulut bisu.
“Makasih, pernah jadi temen buat aku,” katanya lagi sambil pergi meninggalkanku.
Aku masih diam. Sekali lagi kutatap ketiga temanku yang masih saja tak bergerak. Dan aku pun berlalu dari hadapan mereka dengan lesu.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku belum berhenti menangis. Gara-gara lelaki itu aku kehilangan kepercayaan teman-temanku. Aku belum bercerita pada Ega, atau lebih tepatnya tidak akan. Hatiku sangat kacau. Selama hidup, belum pernah aku merasa sekacau ini.
Bahkan ketika balon hijauku meletus.
Malam itu aku putuskan untuk menemui Arda. Aku ingin membicarakan masalah ini secara jelas dengannya dan memutuskan bagaimana solusi yang tepat.
“Dia lagi! Berapa kali aku beri tahu, jangan pedulikan Ela!” komentarnya setelah aku menceritakan semuanya.
“Arda. Ngertiin aku, dong! Bagaimanapun dia temanku.”
“Aku tahu. Aku tahu dia memang temenmu. Tapi dia nggak pantes nyebut kamu makan temen.” Arda membelai rambutku.
Aku masih menangis sesenggukan. Kusandarkan kepalaku di jok mobilnya.
“Aku akan ngomong langsung sama dia,” lanjutnya.
Aku menegakkan kepalaku yang tadinya kusandarkan. Aku menatap matanya yang sedang kosong menatap mobil-mobil lain yang berlalu di jalan mendahului mobil kami yang berhenti di tepinya.
“Kamu sudah gila?”
“Bagaimana masalahnya bisa jelas kalo kita nggak ngomong langsung sama dia?”
“Aku nggak mau kamu nglakuin itu, Da. Aku nggak mau.”
“Lalu mau kamu apa?” Arda menaruh pipinya di atas stir, menorehkan mukanya ke aku.
“Aku nggak tahu.”
“Aku heran sama kamu.”
“Aku sebenernya merasa nggak enak dari awal hubungan kita ini. Aku tahu akan ada banyak masalah. Tapi kita sudah terlanjur bersembunyi, Da.”
“Kamu tahu kan, Ela udah bikin aku sakit hati. Dia udah buat aku kecewa. Tapi kenapa dia masih bilang kamu makan temen? Apa dia nggak terlalu serakah untuk menganggap semua orang itu miliknya?”
Aku menggelengkan kepala. Suasana begitu tenang, larut dalam duka.
“Aku juga nggak tahu kenapa dia nggak bilang aja dia masih suka sama kamu,” kataku datar sambil melihat keluar jendela. Hujan mulai turun. Sudah sebulan hujan terus saja datang setiap malam, membuat hatiku semakin terasa dingin.
Arda menatapku yang masih memperhatikan tetesan hujan.
“Apa kamu bilang?” tanyanya.
“Enggak, kok.” Aku menghadapkan wajahku lagi. “Apa tidak aneh jika dia bilang aku ini makan temen kalo dia nggak suka sama kamu?”
Arda terdiam memikirkan sesuatu.
“Aku tahu, kamu akan berbalik menyukainya,” susulku.
Arda mengecup keningku. Rasanya sangat dingin dan hambar. Pasti kali ini tebakanku benar.
“Aku akan tetep sayang sama kamu.”
Ternyata salah. Tebakanku melenceng. Aku tersenyum. Paling tidak masih ada orang yang mau mengerti aku kali ini. Walaupun hati ini hancur, Arda masih ada di sisiku untuk selalu setia padaku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Sudah dua hari sejak saat itu aku tidak berbicara dengan gank-ku. Sepertinya mereka biasa-biasa saja dan tetep ngobrol. Tapi aku sendiri saja yang merasa tak nyaman bersama mereka. Aku memaksa diriku sendiri untuk diam di tempat dudukku bersama buku-buku pelajaran.
Walau bebarapa kali Faren memintaku untuk ikut ngobrol, tapi aku yakin tidak ada yang bisa menerimaku lagi sepenuhnya.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Lagi-lagi aku menangis di dalam kamar, menyesali takdirku. Sama sekali tak pernah kusangka kalau aku akan kehilangan sahabatku yang sudah kuanggap dekat tiga tahun ini. Aku sama sekali nggak mau persahabatanku rusak dan jujur aja aku ngerasa nggak enak sama mereka.
Tapi paling tidak masih ada Arda di pihakku. Aku cukup terhibur juga karenanya meski aku belum merasakan cinta itu utuh ada. Dan malam itu kuputuskan untuk bertemu lagi dengannya di taman kota seperti sebelumnya walaupun hujan turun sangat lebat.
Kami berbincang di bawah sebuah halte di tepi jalan depan taman sembari berteduh. Aku masih saja meneteskan air mata.
Tapi entah kenapa pertemuan kali ini terasa dingin sekali. Entah dingin karena memang sedang hujan atau suasana hatiku yang memang merasa dingin.
“Arda, aku bener-bener sakit hati. Aku nggak enak sama mereka.”
“Lalu?” tanyanya.
“Sudah dua hari aku menghindar dari mereka.”
Arda hanya terdiam.
“Kenapa, sih, kamu nggak bisa ngerti perasaanku? Aku kayak gini juga karena kamu, kan?” aku mulai membentak dan berdiri di hadapannya.
“Terus mau kamu apa?” Nada bicaranya melonjak naik. Ia juga ikut berdiri menatap kedua mataku. “Mau kamu apa?” lanjutnya lagi.
“Aku mau kita putus. Sudah saatnya kita mengakhiri semua ini. Aku nggak mau hidup dalam persembunyian seperti ini. Aku merasa pengap.” Nada suaraku memelan hampir kalah dengan suara hujan yang kian deras. Air mataku tak mampu kubendung lagi.
“Putus?!” tanyanya setengah tak percaya. Dialihkannya pandangan matanya di samping kepalaku untuk memandang jalan.
Aku mengangguk.
Lalu dia menatapku lagi, “Kenapa baru sekarang kamu bilang begitu?”
Aku menengadahkan kepala dan melihat ke arahnya.
“Aku sudah lama menginginkan itu dari kamu,” perkataannya sungguh tak terduga. “Sebenernya dari dulu aku sama sekali nggak pernah suka sama kamu. Kamu sendiri kan tau kalo aku cuma suka sama Ela. Aku nggak tega aja sama kamu kalo sampe aku yang mutusin.”
Aku menunduk lagi. Hatiku benar-benar terasa diinjak-injak. Di mana harga diriku sekarang ini? Apa punya? Atau kalah tertimpa air mata?
Aku benar-benar merasa dipermalukan oleh keputusanku sendiri.
“Denger, ya. Ela emang bener kalo nyebut kamu makan temen. Karena kamu emang tega ngerebut aku dari Ela.”
“Maksud kamu apa, sih? Bukannya kamu sendiri yang bilang mau jadi cowok aku?”
“Kamu tau nggak sih kalo kamu itu pantes dikasihani? Kamu itu cuma jadi pelarianku aja!”
‘PLAKK!’
Tanganku kontan menampar pipinya. Kali ini aku sudah nggak sanggup lagi menahan amarah. Ternyata ini yang Arda harapkan dari aku. Buat hatiku remuk dan dijauhi teman-temanku.
Kulihat ia memegangi pipinya sambil menahan sakit. Tapi tentu saja tak sesakit hatiku saat ini.
“Kamu emang laki-laki paling bangsat yang pernah aku kenal. Kamu pikir kamu hebat bisa membuatku hancur?! Sekarang setelah semuanya begini apa kamu senang? Apa kamu puas bikin aku tambah kecewa dan menderita? Aku bener-bener sakit! Aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi! Kamu bangga?!” amarahku meledak-ledak.
Arda masih terdiam sambil mencibirkan bibirnya. Rupanya dia benar-benar meremehkan perkataanku barusan.
“Asal kamu tau aja, Da. Aku nerima kamu bukan karena aku cinta kamu. Tapi karena aku kasihan sama kamu! Kamu kan yang bilang sakit hati banget gara-gara cintanya ditolak dan nggak mau sakit hati lagi untuk yang kedua kalinya!? Jadi sekarang mendingan aku jujur aja kalo aku sebenernya juga nggak suka sama kamu! Sumpah demi Tuhan, aku nggak pernah serius cinta sama kamu! Sedikitpun!”
Aku meraih sweater yang tergeletak di bangku halte lalu pergi meninggalkannya. Jalanan begitu lengang. Kubiarkan tubuh dan rambutku basah oleh hujan.
“Bagus kalau begitu! Berarti kita emang nggak pernah saling cinta!” teriak Arda masih dari bawah halte.
Aku terus berlalu tanpa mempedulikannya. Dan sejak saat itu aku baru sadar bahwa aku memang telah salah jalan.
Aku menangis sejadi-jadinya di jalanan. Hujan masih saja turun membuat tubuhku basah kuyup. Aku tak kuat lagi menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Hingga akhirnya aku terduduk dan tak ingat apa yang telah terjadi padaku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
5.
Lima
Mataku perlahan mulai terbuka. Ruangan yang asing bagiku. Kulihat papa, Ega dan kak Rico berdiri memperhatikanku yang sedang terbaring.
“Ini rumah sakitkah?” tanyaku lirih.
“Iya.”
Sudah kuduga aku akan sakit. Tak hanya hatiku, tapi juga fisikku.
“Kamu harus cepet sembuh, ya!” kata Ega sambil membelai rambutku.
Aku masih ingin meneteskan air mata.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Sore itu aku boleh pulang. Aku merasa sedikit lega. Mereka bilang aku dibawa ke rumah sakit karena orang yang menyelamatkanku berpikir aku korban tabrak lari. Padahal aku korban kekejaman cinta.
Ega masih menemaniku di kamar. Badanku masih agak hangat, jadi dia mengompres kepalaku dengan air dingin.
Ega mengusap air mataku yang belum bisa berhenti. Aku tersenyum ke arahnya hangat.
“Kamu kenapa, sih?” tanyanya kemudian.
Aku hanya diam. Namun akhirnya kuceritakan juga semuanya pada Ega dari awal sampai akhir. Tapi Ega hanya tersenyum setelah ceritaku berakhir, padahal dia melihat mataku semakin bengkak.
“Kok kamu malah ketawa, sih?”
“Cerita kamu lucu.” Ega menyandarkan tubuhnya di kursi. “Mana ada orang di dunia ini yang mirip kamu?”
“Maksud kamu?” tanyaku nggak ngerti.
“Kalaupun ada orang yang nggak tegaan kayak kamu ini, mereka pasti tetep aja nggak mau mengorbankan cintanya untuk hal-hal kayak gini. Kamu tau nggak? Kamu udah dibodohi oleh cinta.”
Aku diam aja. Biar sajalah Ega nerocos dulu, tadi juga aku yang nerocos. Biar sekalian dia tahu gimana rasanya jadi mesin cuci.
“Aku kan udah pernah bilang sama kamu. Sikap itu jangan dipiara. Nggak tega, sih, nggak tega. Tapi jangan kebangetan, dong. Akibatnya kamu sendiri kan yang tanggung?”
Ega benar. Aku sakit.
“Sakit enggak?” tanyanya.
Baru saja tadi aku berpikir kalo aku sakit hati, sekarang dia malah tanya. Dia paham suasana banget.
Emang udah diatur begitu sama yang nulis..
“Iya, lah.”
“Kamu harus nglupain dia. Mulai sekarang, kamu janji sama aku kalo kamu akan nglupain dia selama-lamanya.”
“Mana bisa?! Dia udah nyakitin aku.”
“Bisa! Pokoknya kamu nggak usah lagi nemuin dia, jangan lagi telepon dia. Kalo kamu sampe nglanggar itu semua..”
“Apa coba?!”
“Emm..” Ega nampak berpikir keras. “Aku nggak akan nganggep kamu temen lagi.”
“Jangan gitu dong, Ga. Aku kan sudah nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu, papa, ma kak Rico. Jangan pergi ya, Ga?!” rengekku sambil menarik-narik kaosnya.
“Iya, iya! Nih anak cerewet banget!”
“Janji, ya?”
“Janji! Sekarang kamu nggak boleh nangis lagi, otrey?”
“Otrey!”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Ujian Akhir Nasional maupun sekolah sudah selesai. Aku tinggal nunggu hasilnya keluar aja sambil mempersiapkan diri ikut SPMB. Bete juga, sih, nungguinnya. Tapi paling enggak ada Ega. Dia bener-bener bikin aku nggak bete.
Aku masih sering kepikiran Arda dan bahkan masih sering nangis sendiri kalau ingat dia. Tapi aku berusaha tegar. Mungkin memang ini karmaku karena udah nyakitin Tyo secara nggak langsung.
Aku jadi kepikiran Tyo. Dia sedang apa, yah, sekarang? Apa dia juga ngrasain sakit kayak yang aku alami ini dulu? Pasti iya. Ck, aku kecewa banget udah nyakitin dia.
Tapi sekarang kayaknya aku jadi ngerasa lebih baik. Aku kayak dapet pencerahan lah gitu. Sedikit demi sedikit aku bisa nglupain Arda. Memang bener kiat yang dikasih sama Ega.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
6.
eNam
Pengumuman hasil SPMB udah di depan mata. Aku dan Ega mencari nama kami di selembar Koran. Lama sekali. Ega menunjuk-nunjuk dengan jarinya dan sesekali bilang, ‘Kok namaku nggak ada, sih?”
Tiba-tiba ia meloncat kegirangan, kemudian baru kususul. Aku dan Ega diterima di fakultas yang sama, teknik fisika. Aku merasa senang sekali sampai-sampai tak sadar kami berpelukan erat.
“Ega, kamu kan pernah janji ke aku bakal nraktir aku di restaurant termahal kalo kamu berhasil masuk fisika?!”
“Iya, iya. Aku nggak akan ingkar, kok! Tapi kan kamu juga bernazar sama kayak aku, kan?”
“Iya, kamu bener!” kami ketawa bareng. “Jadi makan sendiri-sendiri, dong?”
“Enggak lah! Sekarang aku dulu, besok baru kamu. Gimana?”
“Okeh!”
Hhh.. Menyenangkan sekali. Akhirnya aku bisa masuk ke fakultas impianku. Aku bener-bener bersyukur.
Tapi sayang, hanya cerita..
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Malam ini aku masih belum bisa tidur. Aku mencoba memejamkan mataku sejak pulang dari makan bersama Ega jam sembilan tadi –Ega kan bener-bener taat JBM-.
Tapi sampai sekarang aku belum bisa tidur. Padahal jam di hapeku udah nunjukin jam satu lebih limapuluh dua.
Pikiranku melayang-layang jauh entah ke mana. Aku merasa seneng banget. Mungkin karena keterima. Tapi kali ini kenapa aku lebih sering memikirkan Ega?
Ega memang selalu perhatian padaku. Dia bener-bener cowok terbaik yang pernah ada di dunia. Bahkan papaku sendiri pun tidak ikut nominasi.
Aku tersenyum sendiri mengingat kembali kenangan manisku bersamanya. Sekejap, pikiranku tentang Arda pergi entah kemana –harusnya aku bersyukur-.
Ega sudah memberikan arti hidup yang sesungguhnya padaku. Aku senang aku memilikinya. Dan aku juga senang bisa berbagi cerita dengannya. Walaupun sampai sekarang aku belum bertegur sapa dengan teman-temanku tapi aku cukup terhibur karena Ega.
Apa aku jatuh cinta sama Ega?!
Iya!
Nggak!
Iya!
Enggak! Udahlah jangan ngurusin aku! Kamu nulis ya nulis aja.
Sory, sory..
Memang, sih, akhir-akhir ini kak Rico jadi sering menggodaku bila aku sedang bersama Ega. Entah apa yang ada di pikirannya, mungkin dia memang sudah gila setelah diputusin ceweknya.
Belakangan kak Rico tambah kurus aja, bahkan kurus banget. mungkin karena dia sering bolak-balik ke toilet karena diare yang selalu dateng tiap pagi itu.
Tapi aku juga nggak menyangkal kalo aku memang jadi sedikit banyak lebih memperhatikan Ega.
Yang bener yang mana? Sedikit apa banyak?
Aku sering merasa kacau bila sehari saja Ega tidak datang ke rumahku. Aku rela ke rumahnya untuk meminjam apa pun yang sebenarnya tak kubutuhkan untuk menemuinya. Termasuk minjem kulkas dan kompor gas. Yah, mungkin memang benar apa yang dikatakan kak Rico. Tapi aku ingin menepis perasaanku itu jauh-jauh karena dia sahabat dekatku. Aku nggak mau persahabatanku dengannya menjadi rusak hanya karena dugaan aneh.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Ayo pergi makan!” katanya sambil menendang kepalaku yang duduk tepat di bawah kakinya. Sore itu dia asyik bermain tamagoci di atas sofa.
“Iya, iya. Tapi jangan nendang-nendang kepalaku dong. Kualat tau rasa kamu!” ancamku sambil menepuk kakinya. “Aku ganti baju dulu.”
Aku beranjak dari dudukku.
“Ya udah, kalo gitu aku pulang dulu.” Ega bangun dari tidurnya.
“Ngapain?!”
“Mandi!?”
“Mandi sini aja!”
“Bareng kamu tapi?” godanya.
“Boleh!” Aku tahu dia sering bercanda. Jadi aku coba untuk balas bercanda.
“Nggak, ah. Entar mataku katarak lagi liat kamu telanjang!!”
“Sialan!”
“Udah, yah, aku pulang dulu.”
“Met ketemu nanti, ya!?”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku masih sibuk melepas tindik yang ada di telingaku di saat itu. Sesekali aku bergidig kedinginan setelah merasakan dinginnya air. Tak sengaja kilau mataku menemukan kotak kecil berwarna cokelat muda glamour di dalam laci cermin saat aku hendak menyimpan tindikku. Nggak ada salahnya kan kalo malem ini aku tampil feminin?
Aku segera mengganti handuk yang menyelimuti tubuhku dengan gaun selutut bewarna hijau muda kalem. Sebenarnya aku agak nggak pede karena aku jarang pake gaun. Ini aja gaun hadiah dari papa setahun yang lalu saat usiaku 15 tahun. Dan ini untuk pertama kalinya juga aku memakainya.
Kupasang kalung dan anting –anting olive green itu di telingaku.
Rasanya berat sekali. Aku takut lubang anting di telingaku jadi bertambah lebar seperti nenek-nenek. Sungguh, aku takut telingaku sobek saat aku menggeleng.
Jangan-jangan aku salah taruh? Anting di leher dan kalung di telinga? Jangan bodoh!
Ega sudah datang. Aku mendengar bunyi klaksonnya di luar. Aku berjalan pelan sekali. Takut jatuh karena pake high heels.
Rupanya Ega belum menyadari perbedaanku walaupun aku sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali belum melihatku. Aku takut akan reaksinya kalo dia sampai tau. Takut kalo dia tiba-tiba pingsan ngelihat ada ledek di sebelahnya.
“Sudah siap?” tanyanya sambil menatapku. Tiba-tiba matanya terbelalak kaget melihatku. Benar kan apa kataku?! Ini bukan ide yang baik. “Kamu?!” tanyanya terputus.
“Kenapa? Jelek, ya?”
“Enggak. Cantik, kok. Cantik banget. Hehe.. jadi malu.” Katanya sambil menggaruk-garuk kepala.
Aku tersenyum bangga. Haha.. Akhirnya ada juga yang menyebutku cantik.
“Ngomong-ngomong makasih ya udah mau pake anting dan kalung dari aku,” katanya lagi. Kini aku yang jadi tersipu malu.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Suasananya romantis. Mungkin ini udah bener cara penggambaranku. Di restaurant bernama Untiteld Zone itu sama sekali nggak ngebosenin. Tata pencahayaannya remang-remang dengan lilin dan lampion di mana-mana. Nggak termasuk di atas genteng. Meja dan kursinya dari kayu asli dan di sekeliling ruangan itu ada air terjun.
Jadi gini. Begitu kita masuk, kita serasa diajak masuk sumur. Gedungnya dari bambu-bambu utuh yang disusun hingga berbentuk silindris –tapi nggak sempit-. Di dindingnya mengalir air yang jatuh ke kolam kecil berbentuk lingkaran mengitari tempat makan. Paling, lebar kolamnya hanya satu meter.
Di tiap sudutnya –lingkaran bersudut tak berhingga- terdapat masing-masing dua kursi dan satu meja. Mereka diletakkan melingkar di tepi dinding, membuat kita semakin merasa dekat dengan air.
Di atas meja ada sepasang lilin merah. Yang satu panjang dan yang satu lagi pendek. Di sampingnya ada daftar menu. Selain itu tidak ada apa-apa lagi.
Aku takjub begitu mulai melangkah ke ruangan berlantai kayu itu. Jangan-jangan aku ini ketinggalan zaman, ya? Baru kali ini aku ngrasain tempat indah dan nggak bikin hatiku dingin. Mungkin ini yang mereka sebut dengan romantis.
“Ga!” panggilku pelan melihat Ega berjalan mendahuluiku.
“Apa?” Dia berbalik dan berhenti. Pemuda manis itu tampak semakin ganteng dengan hem kotak-kotak hitam-hijaunya. Lengan bajunya digulung sampai setengah siku, membuat beberapa gelang kayunya tampak melingkar. Sejak dulu Ega suka sekali dengan gelang-gelang etnis.
“Mahal nggak?” tanyaku lirih.
Ega tersenyum. “Kalau nggak kuat bayar biar aku aja deh!”
Kini aku yang balik tersenyum. Aku menuju mejaku dan duduk di depan Ega. Rasanya nyaman banget di tempat ini.
Nggak lama kemudian pesanan kami sudah ada di meja. Nggak tahu apa istilahnya karena sulit banget dibaca, yang jelas menunya tentang cumi.
“Mau tambah?” tanya Ega setelah kami berdua selesai makan.
“Enggak, ah. Cukup. Udah kenyang.”
Seorang pelayan mengemasi piring kami sambil membawa dua gelas lagi minuman yang sama seperti yang sebelumnya kami pesan. Tapi bedanya kali ini aku bertukar gelas dengan Ega.
“Aku nggak tau kenapa aku sekarang jadi deg-degan,” kata Ega tiba-tiba.
Aku jadi ikut deg-degan ngedengerinnya.
Yang nulis kebanyakan omong! Jangan terlalu ikut campur urusan orang kenapa?
“Memang kenapa? Apa sudah tiba waktu ajalmu menjemput?” tanyaku penasaran tapi agak bego.
“Nggak tau.”
“Jangan mati di sini, dong. Kan malu-maluin!!”
“Jangan ngaco. Aku serius tau?!”
“Iya, maaf. Mang kenapa kamu pake acara deg-degan segala?”
“Mungkin karena berhadapan sama cewek secantik kamu kali, ya?”
“Kamu ngejek aku, ya? Mentang-mentang nggak biasanya aku kayak gini, gitu?” Aku meneguk minuman bewarna ungu itu cepat-cepat.
“Bukan. Aku serius. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi ngerasa kamu cantik banget. Bukan, bukan!” Ega meralat ucapannya. “Bukan akhir-akhir ini, sih, tapi emang sejak dulu.”
“Kamu jangan bikin kepalaku tambah gedhe. Entar kalungnya lepas.”
Dan bikin anak kecil semua pada takut liat ondel-ondel menor jalan.
“Enggak.”
Kami terdiam cukup lama. Musik klasik yang sedari tadi mengalun mengisi kekosongan itu.
“Aku boleh jujur sama kamu?” tanya Ega. Kali ini suaranya lebih lirih.
“Apalagi?”
“Kamu jangan marah, ya..”
“Enggak.”
“Swear!?”
“Swear!”
“Sebenernya aku sudah lama ngrasain ini. Bahkan aku lupa sejak kapan perasaan ini ada.”
Kali ini jantungku rasanya mau copot.
“Aku merasa nggak seneng waktu ngedenger kamu cerita tentang kisah cinta kamu sama Tyo ataupun Arda. Dan aku ngrasa nggak rela banget waktu kamu disakiti Arda. Aku selalu nunggu kamu ngebuka hatimu untuk aku selama ini. Tapi ternyata kamu malah milih orang lain. Karena itu, malam ini aku pengen jujur ke kamu kalo aku sebenernya sayang sama kamu.”
‘Deg!’
Kurasakan jantungku benar-benar copot.
“Kamu.. bercanda, kan?” tanyaku memastikan.
“Aku serius.”
“Bohong, ah! Kamu kan seneng bercanda. Awas, yah, kalo kamu sampai ngerjain aku.” Aku membuang jauh-jauh keinginan bibirku untuk mengatakan ‘Aku juga sayang kamu’ padanya.
“Iya, aku cuma bercanda!”
“Tuh, kan?!”
“Kamu over polos atau gimana, sih?” Ega ketawa. “Terserah kamu mau bilang aku apa, yang jelas aku bener-bener nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku ingin nglindungin kamu dari orang-orang yang sudah bikin kamu sakit selama ini. Aku ingin ngejagain kamu sampai kamu benar-benar merasakan rasa aman bila berada di sisiku. Dan sekarang, aku pengen kamu jawab tawaranku untuk menjadi pacarku.”
Keringat dingin pun keluar dari telapak tanganku. Mungkin sebentar lagi aku bakal ngompol.
“Aku nggak tau musti ngomong apa ke kamu, Ga. Kita udah sahabatan sejak masih SMP. Dan aku nggak tau apa yang akan terjadi nati kalo sampai kita jadian. Aku hanya takut kalau persahabatan kita rusak. Kamu tau kan kalo persahabatan itu untuk selamanya, sedang pacar itu hanya sementara?”
“Tapi cintaku ke kamu nggak cuma untuk sementara. Aku akan menyayangi kamu selama-lamanya, sampai kita tua nanti.”
Aku terdiam. Takut termakan janji lagi.
“Jangan diam. Jawab aku,” katanya.
“Ega, sebenarnya aku.. Aku juga sayang sama kamu. Aku udah mendem perasaan ini entah sejak kapan aku nggak inget. Tapi, Ga..”
“Tapi apa lagi? Kamu kan juga sayang sama aku?”
“Tapi kan kata pepatah Jawa, orang yang lahir di tanggal, bulan, hari, dan tahun yang sama nggak akan pernah bisa akur. Bahkan malah bisa sering bertengkar.” Alasanku pasti terdengar konyol.
Aku belum cerita kalo aku dan Ega lahir di tanggal, hari, bulan, dan tahun yang sama. Aku pikir ini hanya kebetulan saja, tapi ternyata dampaknya besar. Pernah juga terpikir kalau kita kembar, tapi kata papa aku nggak punya kembaran.
Ega menghela nafas panjang, “Kamu percaya merk begituan? Nyatanya selama ini kita berteman fine-fine aja!? Yah, kan? Jadi, gimana?”
“Jadi..” Aku masih berpikir.
“Intinya kamu mau. Gitu aja, ya? aku nggak mau nunggu lama-lama,” potongnya.
“Apaan, sih? Enak aja memutuskan satu pihak!” Aku mencak-mencak.
“Emang kamu mau jawab apa lagi? Tetep iya, kan?”
Aku tersenyum lalu mengangguk. “Nggak takut aku nerima kamu karena nggak tega, Ga?” godaku.
“Enggak! Aku percaya kok sama kamu. Lagian kamu kan udah janji sama aku buat ngilangin sikapmu itu.”
Aku tersenyum simpul.
“Kamu bakal setia sama aku, kan?” tanyanya lagi.
“Tergantung!” jawabku.
“Kok tergantung, sih? Kenapa nggak truk gandeng?”
Aku tertawa. Rasanya baru kali ini aku merasakan kepuasan yang tak ternilai. Aku benar-benar merasa bahagia.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
7.
tuJuH
Hari ini hari pertamaku masuk kuliah. Saatnya aku merasakan masa-masa orientasi kampus. Pagi itu, jam lima seperempat, aku sudah bersiap berangkat ke kampus dengan masih memakai seragam SMU-ku. Lima ekor kucir sudah tertata acak di kepalaku: tiga tersusun berderet seperti barisan dari atas kening sampai atas tengkuk, dan dua lainnya masing-masing di atas telinga.
Tangan kiriku memegang sapu lidi. Serbet kotor juga sudah terikat di pinggang. Kaus kaki merah di sebelah kanan dan hijau di sebelah kiri. Sepatunya pun berbeda. Yang kanan sepatu bola dan yang kiri sepatu basket.
Tujuh biji cabe merah dan bawang putih terangkai berselang-seling dan sudah kupakai sebagai kalung. Tempat minum berupa dot terkait lebih ke bawah. Gelang-gelang dari rumbai-rumbai raffia sepanjang 10 senti melekat di kedua pergelangan tangan. Rumbai-rumbai yang sama juga kupakai di rokku seperti penari Hawaii, hanya saja ukurannya lebih panjang.
Tapi yang paling parah adalah tas dari anyaman bambu yang berbentuk silindris tergantung di punggungku dengan tali terbuat dari ban.
Aku benar-benar malu menatap diriku sendiri di cermin. Apa jadinya kalo aku nanti keluar? Pasti semua orang akan menertawaiku.
Hhh.. Aku menghela nafas. Kupakai identitas namaku yang sudah kulaminating semalam. Kemudian aku turun dengan langkah malas. Jujur saja aku masih ngantuk. Aku dan Ega tidur jam 3 untuk mengerjakan ini semua. Padahal mereka menyuruhku sampai kampus pukul 6 pagi. Sial.
Kuliah pertama belum boleh membawa kendaraan sendiri. Jadi mau tak mau hari itu aku membangunkan kak Rico di kamarnya. Entah kenapa ia jadi beringasan waktu matanya terbuka. Ia berlari ke pojok sambil nyebut-nyebut nama Tuhan. Apa iya wajahku mirip hantu?
Setelah nglobi lama banget, akhirnya kak Rico mau juga nganterin aku. Jam udah nunjukkin jam setengah enem. Dan kitapun segera berangkat ke kampus. Tiba-tiba Ega datang dan memasukkan mobilnya ke garasi. Ia ngerengek-rengek minta bareng.
Benar-benar melelahkan. Seharian membersihkan kampus dan mencabuti rumput lapangan sepak bola sekalian beberapa kilometer persegi lahan yang banyak ditanami tanaman entah apa namanya untuk penelitian fakultas MIPA. Tentu saja nggak sendiri tapi seangkatan.
Kostumnya berbeda-beda memang. Tapi paling parah kayaknya yang jurusan teknik, deh. Buktinya aku serasa jadi artis aja setiap kali lewat di depan orang-orang.
Laper banget rasanya nih perut. Tapi kami baru diperbolehkan makan sekitar jam satu siang. Itu pun makan makanan yang nggak ada gizinya blas, tumis kulit belinjo tanpa lauk. Selera makanku kontan ilang, tapi aku laper banget. Jadi aku tetep makan walaupun cuma dikit.
Ospek ini diadain sekitar tiga hari. Aku nggak bisa ngebayangin hari-hari pertamaku yang melelahkan terjadi selama 3 hari. 24 jam. 1440 menit. 86400 detik.
Sore itu, sekitar jam setengah enem, kita dikumpulin seangkatan di tempat parkir yang bisa dibilang lumayan luas, luas banget malah. Para senior lagi-lagi ngasih kita tugas, kali ini lebih parah. Bikin buku perkenalan dan nyari barang-barang nggak peting. Mereka baca cepet banget dan super nggak jelas karena lewat megaphone, dan kami nggak boleh nyatet cuma boleh dengerin aja.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Capek banget, ya?” kataku pada Ega yang duduk bersandar lemes banget di jok belakang. Mataku kosong menatap luar jendela. Di sampingku ada kak Rico sibuk dengan stir mobil dan lolipopnya.
“Penyiksaan..”
“Itu sih masih mending,” kata kak Rico setelah mengeluarkan permennya dari mulut dengan tangan kirinya. “Zaman kakak dulu masih suruh pake dasternya nyokap. Yang cowo juga musti berkucir, kalo nggak punya rambut, ya, pake bando.”
“Kakak pake daster siapa?” tanyaku mendadak. Rico cepat-cepat mengeluarkan lagi lolipop yang baru saja ia masukkan ke mulut.
“Kakak nggak pake. Karena kita emang nggak punya daster.”
“Lebih tepatnya nggak punya mama,” selaku. “Terus kakak dihukum?”
“Ya iyalah! Lari muter kampus sekali.”
“Lagi-lagi gara-gara mama! Nyebelin!”
Kak Rico diam saja. Kulirik Ega yang dari tadi juga diam saja di belakang. Dia tertidur, atau pura-pura tidur.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Mandi, gih!” Kulemparkan handuk biru tepat ke muka Ega yang bermalas-malasan tiduran di sofa mengistirahatkan kakinya.
“Entar, ah!” jawabnya santai.
“Kita ini dikejar waktu, Ga. Belum juga kita nyari bahan tugas buat besok, buku perkenalan..”
“Waktu itu nggak punya kaki. Mana bisa lari?!”
“Ega!”
“Iya, iya, cerewet!” potongnya sambil cepat-cepat berdiri lalu mengacak-acak rambutku yang masih basah setelah keramas.
“Kamu ngatain aku cerewet?!”
“Enggak, enggak, sayang.” Ega mencium pipiku cepat, lalu terburu-buru lari ke kamar mandi.
Aku tersenyum. Aku nggak bisa marah sama Ega.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Gila! Dari tadi nggak nemu juga. Udah jam sembilan malem tapi aku dan Ega belum bisa nemuin itu benda di pasar segedhe gini.
“Awas, ya, kalo aku bisa jadi senior besok!” Ega ngomel-ngomel nggak karuan. Tangannya sibuk mengorek-orek bawang putih di dalam karung sambil sesekali mengamatinya. Sesekali pula bibirnya komat-kamit nggak jelas.
“Mana ada, sih, yang jumlahnya sebelas?” Aku juga melakukan hal yang sama seperti Ega, menghitung jumlah siung bawang putih. Harus sebelas dalam satu kelompok.
Sekarang udah jam sembilan seperempat, belum ketemu juga.
Jam setengah sepuluh. Masih jauh..
Bisa-bisa.. Beberapa tahun kemudian…
“Ah! Nyerah!”
“Iya, ah! Nyerah aja. Kita juga masih punya tugas lain!” aku berdiri dengan kedua tangan di pinggang.
“Sekarang kita cari manggis aja!” Ega menarik tanganku.
“Tunggu!!!” teriak seseorang kemudian. Suaranya tidak lebih bagus dari Krisdayanti, tapi dari nada-nadanya mirip logat Spongebob pada episode bergulat dengan Patrick.
Kami berbalik. Ups! Kami melupakan sesuatu.
“Bereskan semuanya dan bayar uang ganti ruginya!” kata pedagang itu lagi
Hhh.. Aku mendengus kesal. Empat karung bawang putih dengan isinya yang terserak ke mana-mana. Sial! Kehilangan limapuluh ribu tanpa hasil.
Repot juga mencari manggis dengan pantat berbunga sembilan –itu tuh benda mirip bunga di pantat manggis-. Mana ada coba barang kayak gitu? Mana sekarang nggak musim manggis, lagi? Emang kita Tuhan? Dasar senior goblok!
Aku dan Ega nyerah lagi. Sekarang saatnya pulang dengan membawa sedikit hasil, dua keping uang logam Rp.5-, bergambar KB dan dua buah pisang dempet.
“Sebentar lagi pagi, Ga!” kataku pada Ega begitu melihat jam dinding besar setelah membuka pintu rumah. Jam dua belas kurang lima.
“Aku ngantuk.”
“Jangan tidur! Masih ada buku perkenalan.” Aku menarik lengan kaos Ega sampai ia terduduk. Sebelumnya ia berniat tidur setelah menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa yang dari SMP disebutnya sebagai sofa terempuk yang pernah ia tiduri.
Aku naik ke kamarku, mengambil satu rim kertas HVS, penggaris, gunting, spidol, dan peralatan tulis lain. Sampai di ruang keluarga kulihat Ega kembali berpelukan dengan si bantal sofa.
‘Byur!’
Aku mengguyur wajahnya dengan secangkir kecil air. Dia terbangun sambil tergagap-gagap.
Nggak pantes deh kalo bunyinya ‘byur!’. Habis cuma dikit airnya. Terus apa, dong?! ‘Pyik!’ aja, yah?
Iya deh, itu aja! Ulangi!
‘Pyik!’
Aku mengguyur wajahnya dengan secangkir kecil air. Dia terbangun sambil tergagap-gagap.
“Salah sendiri tidur!”
“Jangan gitu dong banguninnya. Kan bikin kaget? Entar kalo aku keblabasan nggak bangun gimana?”
“Karena itu kamu aku guyur. Biar nggak mati.”
Mbak Asih datang dengan dua gelas kopinya. Kasihan, gara-gara aku dia ikut terbangun. Bukan! Gara-gara senior busuk itu.
Jam setengah tiga pagi. Tugas baru selesai. Buku perkenalan, dengan lembaran-lembaran ijo muda berbentuk jari tangan –harus jiplak dari tangan sendiri- sebanyak 222 halaman dan dijilid spiral. Gila aja, malem-malem ngedobrak pintu rumah tetangga di depan rumah, yang buka fotokopian, cuma buat ngejilid spiral dua benda nggak jelas jluntrungnya.
Yang jadi masalah bukan itu. Masih mending kalo cuma suruh ngejiplak tangan 200x terus diguntingin, tapi masa kita harus ngewarnainnya pake spidol warna ijo muda ampe penuh semuanya? Untung nggak bolak-balik.. Spidol ijo sekilo juga abis!
“Sumpah! Nih tangan mau copot rasanya!” kataku sambil mengibas-ngibaskan tanganku di tempat tetanggaku yang terpaksa baik hati menjilidkan buku biadab itu.
Kulirik Ega yang hanya diam. Ternyata rasa lelahnya dikalahkan oleh rasa kantuk. Bibirnya mangap-mangap sambil sesekali nunduk-nunduk nggak kuat ngangkat kepala.
Walaupun ngantuk dia tetep manis, kok!
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Masih dengan gaya seperti kemarin, komplit dengan peralatannya kita dijemur di lapangan sepakbola. Kali ini kita lagi-lagi dikerjai habis-habisan sama senior-senior nggak inget umur itu.
Setelah pengarahan, perkenalan ruangan-ruangan dan gedung-gedung dengan jalan kaki muterin jalan jalan sekitar kampus dengan luas total 5 ha., kita disuruh kenalan sama seluruh dosen dan kakak kelas yang lain, itu pun pake syarat. Harus 20 dosen perempuan, 30 dosen laki-laki, terus sisanya masing-masing 5 orang mahasiswa dari setiap fakultas. Nggak boleh ada satu pun fakultas yang kelewat. Sementara itu mereka akan meriksa tugas yang udah kita bawa di tas bambu kita.
Yang bikin aku pengen pingsan waktunya dibatesin cuma satu jam empat puluh lima menit. Kalau nggak balik dalam waktu segitu, terpaksa dihukum lari keliling lapangan bola 4 kali. Mana bisa? Gedung tinggi-tinggi gitu?! Positif lari, nih..
Semuanya berlari-lari nggak karuan, membuat debu-debu berterbangan nggak jelas memenuhi mukaku. Lagi-lagi hipos..
Tapi sumpah, deh! Bulek banget!
Aku udah nggak nemuin Ega lagi. Nggak tau di mana dia, paling udah lari bareng yang lain. Aku sekarang juga mau lari dulu, entar aja dulu ceritanya. Okeh?
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Nggak tau hukuman apa yang bakal mereka kasih ke aku kali ini. Aku nggak bisa nentuin berapa jumlah dosen cewek dan dosen cowok yang udah tanda tangan karena keburu waktu. Mahasiswa dari jurusan apa juga aku nggak ngitung. Sial!
Kukumpulkan bukuku pada senior wakil kelasku. Matanya bulet gedhe sangar banget. Kulitnya item dekil. Rambutnya gundul dan badannya agak gedhe kayak kebo.
“Besok kalian baru akan denger hasil koreksinya!” kata si kebo garang.
Ega belum balik juga. Dia pasti dapet hukuman lari, nih! Kasihan banget.
“Nyariin aku, yah?” kata Ega tiba-tiba melihatku celingukan mencarinya. Dilingkarkannya tangannya di pundakku, tapi cepat-cepat aku singkirkan.
“Sempet, ya?!”
Ega tersenyum polos sambil menyamai langkahku menuju aula untuk makan siang.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Suapan ketigaku terasa sesak masuk ke tenggorokan. Aku dengar namaku dipanggil. Cepet-cepet aku meneguk air dari botol air mineral. Apa lagi ini? Hukuman apalagi?
Aku berlari secepat mungkin ke tempat parkir. Tempat biasa untuk pengumuman tugas dan hukuman. Beberapa teman lain berlari di depanku. Tiba-tiba Ega menyusul di belakangku. Dia tersenyum lagi. Emang dia nggak ngrasa susah apa?
Kulihat sekelompok orang sudah berbaris rapi. Beberapa kebo lain juga sudah berjajar dengan kayu-kayu panjang di tangannya. Pasti bakal dipukuli, nih.
“Siapa yang ngerasa tugasnya nggak komplit?” tanya salah seorang kebo berjambang tebal. Hampir seluruh mukanya tertutup jambang. Hanya hidung dan matanya saja yang tampak. Bibirnya saja nggak kelihatan. Kalau menurutku, sih, terusan sampai ke ketek.
“Kamu!” kebo jambang itu menunjukku yang sibuk memperhatikan jambangnya.
Aku kaget banget. Mana bisa dia sembarangan nunjuk aku? Orang yang punya jambang lebat dia?
Hubungannya di mana coba? Dasar penulis amatir!
“Apa liat-liat?!” katanya kemudian.
“Nggak, kok.”
“Kamu tau nggak kamu dikumpulin di sini buat apa?!”
Malah tanya, kataku dalam hati.
“Nggak, Kak,” jawabku singkat. Tapi perasaanku benar-benar takut.
“Kamu nggak ngerasa bikin kesalahan?!” Si kebo datang ke arahku kemudian. Matanya masih kelihatan sangar.
“Nge.. ngerasa, kok!” jawabku gugup sambil tertunduk. coba tadi nggak usah repot-repot nglihatin jambang?!
“Apa?”
“Nggak bawa manggis sama bawang, Kak.”
“Nggak bawa manggis sama bawang?!” si kebo melengos. “Tau nggak kalo mereka yang di sini itu cuma yang punya satu kesalahan aja. Nah, situ?! Dua coba!”
“Siapa yang buat dua, bro?” tanya kebo yang lainnya pada kebo yang tadi. Badannya tinggi ceking tapi nggak kalah sangar.
“Ini. Cewek lagi!” jawab si kebo sambil melipat tangannya. Dua orang kebo lain berdiri di samping kebo pertama.
“Siapa selain dia yang ngelakuin dua kesalahan!!” tanya yang tinggi ceking dengan nada membentak kepada seluruh mahasiswa yang dikumpulkan di situ. Suaranya berteriak menggelegar membelah bumi.
Kiamat!
Beberapa orang mengangkat tangan malu-malu, termasuk Ega.
“Oh, bagus, ya!! Kalian udah berani ngebantah senior kalian? Baru juga dua hari di sini. Kalian pikir kalian siapa? Bisa seenaknya sama kita!!” si kebo ngamuk-ngamuk.
“Sekarang kalian berlima ikut aku!” bentak kebo betina.
Aku bener-bener takut. Aku berjalan di samping Ega mengikuti wanita galak dengan rambut super cepak itu. Masih mending kalo dia cantik?! Masalahnya bentuk mukanya aja bulet.. Jadi tambah mirip bola.
Kami berhenti di depan sebuah patung pendiri universitas itu. Di belakang patung itu berdiri gedung kedokteran, sedang di depannya menghadap perempatan jalan besar. Hawanya panas banget siang itu. Aku takut pingsan.
“Sekarang kalian drama di sini. Masing-masing dua orang. Satu di sisi sini, satu di tepi jalan sana. Kalian harus bersuara keras biar kedengeran satu sama lain. Ngerti?”
“Kami kan berlima? Mana bisa dua-dua?!” tanyaku.
“Kamu ngamen aja sendiri!”
“Tapi, kan?!”
“Kamu nantang!? Berani?!”
“Biar aku aja yang ngamen,” kata Ega kemudian.
“Nggak bisa! Kamu mau sok jadi pahlawan buat dia?” si kebo betina berlari ke bawah gedung berteduh.
Kilau aspal yang kian memanas tak henti-hentinya memanggang tubuhku. Aku bernyanyi di bawah traffic light. Beberapa orang memberiku uang receh. Benar-benar membuatku malu.
“Kamu ngapain di sini?” seseorang melongok dari dalam mobil.
“Evan?!” Aku kaget bukan main.
“Nih!” Evan mengulungkan uang sepuluh ribu ke plastikku. Nggak lama kemudian ia berlalu bersama menyalanya lampu ijo.
Menjengkelkan! Evan mengecapku sebagai pengamen.
Sementara itu kulihat yang lain sibuk dengan percakapan gilanya. Saling berteriak dari tepi jalan ke tepi satunya. Dan ini terjadi selama 45 menit. Gila..
Perutku lapar banget. Dari tadi siang aku baru makan sedikit.
Sore ini tugas yang diberikan oleh para manusia kebo sedikit lebih enak. Mungkin mereka kasihan juga sama kita.
Hanya membeli bunga tujuh rupa plus kemenyan dan dupanya. Nggak tau buat apa. Tapi yang jelas itu jauh lebih gampang dari kemarin-kemarin.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku terus mengeluh menjalani hukumanku bersama sekelompok mahasiswa lain. Membersihkan kaca-kaca jendela dan toilet. Belum lagi dipaksa menyapu jalanan. Ini gara-gara buku perkenalan itu.
10 dosen perempuan, 52 dosen laki-laki, 7 dari fakultas ilmu komputer, 1 dari fakultas sastra, 10 dari fakultas kedokteran…
Salah semua! Ega lebih parah.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Menyiram tubuhku sendiri dengan air bunga yang bunganya kami bawa sendiri. Kemenyan dan dupa dinyalakan di samping kendi dari tanah liat. Itulah ritual yang mereka suruh untuk siang itu. Seluruh baju kami basah kuyup oleh air. Kata mereka ini ritual pelantikan.
Setelah itu kudengar salah satu dari kita menjerit histeris.
Kemudian disusul yang lainnya.
Aku segera berlari, bersembunyi di balik pohon. Para kebo rupanya sudah gila. Mereka melempari kami dengan tepung dan telur busuk. Memang mereka pikir kami bahan adonan roti?
Tapi paling tidak hatiku merasa lega. Mereka sekarang jauh terlihat lebih ramah. Jadi dua hari kemarin mereka pura-pura? Selalu saja begitu.
‘Aman. Nggak ada yang tau aku bersembunyi di sini.’
Tiba-tiba seseorang memecahkan sesuatu di kepalaku. Aku berbalik sambil mengelus-elus rambutku yang tertindih cairan berlendir nan penuh bau. Sempat kulihat Ega cengar-cengir sebentar sebelum akhirnya dia menimpahi mukaku dengan tepung. Benar-benar menjengkelkan.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Tiga hariku sudah berlalu. Senangnya..
Aku menggelaparkan tubuhku di atas sofa setelah mati-matian mencuci rambut dengan sebotol penuh shampo.
“Mbak,” kata Mbak Asih kemudian.
Aku menoleh ke arah Mbak Asih tanpa berkata apa-apa.
“Malam ini Mbak disuruh ke rumah sakit.”
“Emangnya kenapa, Mbak?!” Aku bangun dan duduk di atas sofa.
“Mas Rico sakit. Tadi sore badannya panas banget. Badannya juga memar-memar ungu.”
Pasti kak Rico berantem. Tapi kakak kan nggak pernah berantem?
“Makasih, ya Mbak.” Aku segera berlari ke kamar mengambil kunci mobil.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Terrano Kingsroadku melaju kencang menuju rumah sakit. Segera kuparkirkan mobil itu di tempat parkir di lantai bawah tanah dan akupun segera berlari menuju ruang resepsionis.
Padma 3. Ruangan di mana kak Rico terbaring sekarang. Tubuhnya demam. Keringatnya keluar banyak sekali walaupun ini malam hari.
Papa tidak ada di sana. Kata suster dia sedang keluar mencari makan.
“Ega,” kataku di telepon saat Ega mengangkat teleponku.
“Yah?!” Suara Ega terlihat malas. Sepertinya dia masih lelah.
“Bisa ke rumah sakit sekarang?”
“Kenapa? Kamu sakit?”
“Temani aku. Kak Rico sakit.”
“Okeh. Di mana?”
“Padma 3.”
“Ya udah. Aku berangkat.”
Aku menutup ponselku. Kuperhatikan wajah kak Rico yang terlihat sangat pucat. Pipi kirinya ungu. Pasti habis ditonjok.
Belum tentu, sih! Siapa tau habis blash on-an?!
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Nggak lama kemudian Ega datang dengan sekeranjang buah. Malam itu Ega dan aku tidur di rumah sakit.
“Ga, bangun!” Aku membangunkan Ega pagi itu. Kulihat papa sudah duduk di samping kak Rico terbaring.
Ega bangun malas-malasan.
“Kamu harus kuliah,” kataku kemudian.
“Kamu?!” tanyanya.
“Dia biar istirahat dulu. Sekalian nemenin Rico,” kata papa.
Aku mengangguk. Aku bolos kuliah, kasihan kak Rico.
“Ya udah.”
Ega meraih jaket dan kuncinya lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Kakakmu kena AIDS,” kata papa siang itu setelah aku selesai makan.
“AIDS?!” Perkataan papa membuatku benar-benar merasa shock.
Bagaimana mungkin kak Rico kena AIDS?! Yang aku tau kakak adalah orang yang setia. Dia juga tidak pernah minum obat-obatan terlarang. Bahkan miraspun nggak pernah.
“Papa udah gagal ngedidik anak.” Suara papa memelan.
“Pa, ini bukan murni kesalahan papa.” Aku berjalan mendekati papa yang duduk bersandar di sofa di ruangan itu. “Mungkin ini emang udah jalan hidupnya kak Rico.” Aku menghapus air mataku sendiri.
Papa menghela nafas lalu pergi keluar meninggalkanku. Kupandangi wajah kak Rico lagi. Kasihan sekali dia.
Tiba-tiba kak Rico terbangun.
“Kakak nggak papa?” tanyaku begitu melihatnya bangun. Tangannya terasa panas sekali saat kusentuh. Demamnya belum turun.
“Kakak nggak papa. Maafin kakak, ya?!” ucapnya.
Aku hanya menjawab dengan leleran air mataku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Sudah seminggu kakak dirawat di rumah sakit. Demamnya tak kunjung sembuh. Yang ada malah badannya semakin habis dimakan virus jahanam itu. Kakak sekarang kurus sekali.
Kakak memang tipe yang setia. Tapi ternyata tidak dengan pacarnya. Wanita itu ternyata sering selingkuh di belakang kakak. Bersyukur sekarang mereka sudah putus.
“Nggak ada harapan lagi buat kakak,” katanya sore itu saat aku menemaninya di rumah sakit. Ega masih asyik mengupaskan kakak apel di depan tempat sampah.
“Jangan bilang gitu, kak!” kataku.
“Mama di mana, ya?” tanya kak Rico tiba-tiba.
“Ngapain nyari mama? Mama kan udah nggak peduli sama kita.”
“Aku kangen mama. Aku pengen pamit sama beliau. Aku banyak salah. Mama..”
Aku berlari keluar dengan menahan air mata. Firasatku mengatakan kak Rico akan segera pergi dari sini.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Dokter yang menangani kak Rico baru saja keluar dari kamar. Aku mengejarnya dan mengajaknya berbicara di kantornya.
“Apa tidak ada jalan lain?”
“Sampai sekarang masih belum bisa ditemukan cara yang paling tepat untuk melawan AIDS, yang mampu mencegah virus HIV menghancurkan daya tahan tubuh.”
“Satupun?!” tanyaku.
“Sebenarnya kita bisa memberinya obat AZT, Azito Thimydine.” Dokter itu berdiri dari duduknya dan mengambil segelas air dari dispenser. Kemudian diteguknya dan kembali ke depan mejanya untuk mengobrol lagi denganku.
“Kenapa dokter tidak memberinya obat itu.”
“Masalahnya di situ. AZT memang satu-satunya obat yang disahkan untuk percobaan penghancur virus HIV. Tapi ternyata AZT mengalami kegagalan HIV mengalami resistensi terus menerus terhadap obat itu. Lagipula pengobatannya memakan waktu sangat lama sehingga virus biadab itu membangun lagi kekebalannya pada masa ini,” jelas si dokter.
“Jadi apa kakak saya akan tetap menderita seperti ini sampai nanti ajal menjemputnya?”
“Saya nggak tau. Sebenarnya ada lagi satu cara.”
“Apa itu, dok? Berapapun akan saya bayar.”
“Kan yang punya uang papamu bukan kamu?! Jangan bercanda, dong!”
Ya udah, deh! Tapi apa?”
“Cangkok sumsum tulang. Masalahnya agak susah menemukan sumsum tulang yang sama.”
“Berapapun biayanya yang penting kakak saya sembuh.”
“Masih sempet bercanda juga!?”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Pagi itu suasana Padma 3 benar-benar duka. Aku mendapati kak Rico terbujur kaku tanpa nafas lagi.
Orang yang kusayangi lagi-lagi pergi meninggalkanku.
8.
dELaPHaN
Aku terpukul juga akan kepergian kak Rico. Suasana di rumah semakin sepi saja. Hatiku juga semakin sepi. Ini semua gara-gara mama. Lagi-lagi aku menyalahkannya. Kalo mama nggak pergi, tentu nggak akan kayak gini jadinya.
Tapi aku akhirnya sadar juga kalo kak Rico nggak akan suka melihatku terus-terusan menangis memikirkannya. Aku harus mengikhlaskan kepergiannya. Aku harus berusaha tegar menghadapi ini semua.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Hari-hari kemudian berjalan biasa saja. Aku menikmati masa-masa kuliahku. Tak pernah sedikit pun aku mengeluh lagi. Kecuali beberapa kali karena Ega BAB di sembarang tempat.
Ega benar-benar bisa membuatku bahagia. Aku nggak ingin melepaskannya sedetik pun karena berkat dia aku bisa lahir kembali menjadi orang yang lebih kuat, orang yang lebih tegar.
Arda sudah menjadi masa laluku. Aku bahkan nggak ingin lagi mengingatnya. Kebahagiaan bersama teman-teman juga sudah terlempar menjadi kenangan. Aku sadar aku bukan di pihak mereka lagi sekarang. Aku hanya ingin mengubur kenangan itu dalam-dalam sebagai tanda bahwa aku pernah merasakan hangatnya persahabatan.
Kepergian kak Rico juga sudah bisa kuterima. Aku yakin kak Rico akan lebih bahagia di sana.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Musim hujan sudah datang lagi. Hari-hariku semakin cerah saja.
Langit masih tertutup mendung. Matahari belum juga muncul. Daun-daun tanaman di teras kamarku juga masih basah terguyur hujan deras semalam. Udara pagi yang dingin benar-benar membuatku malas beraktifitas.
Kuraih handphone yang kuletakkan di atas meja. Satu missed call dari Chayang-Q.
Hhh.. Aku menghela nafas. Malas sekali aku melangkah ke kamar mandi. Seandainya aku bisa mandi di atas tempat tidur..
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Nanti malam kita jalan, ya!”
“Okeh!” jawabku singkat setelah menutup pintu mobil Ega dari luar. Kulambaikan tanganku ke arahnya dengan penuh senyum. Aku tahu dia mengamatiku lewat kaca spion saat jazz merah itu meluncur pergi.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Aku duduk di sebuah bangku taman. Di belakangku suara air mancur bergemericik menambah dinginnya malam. Belum hujan, tapi mendung tipis sudah rata.
Ega diam termangu di sampingku. Raut mukanya kelihatan resah di bawah sinar lampu kota. Suasana yang sepi seakan menyatu dengan kegelisahannya. Padahal kulihat dia bercanda denganku seharian ini.
“Kenapa, Ga?” tanyaku memecah kesunyian.
Berapa harga kesunyian? Entar aku ganti, deh..
Ega terdiam.
“Coba, deh, Ga. Kamu tebak. Olahraga apa yang paling berat?”
“Nggak tau,” jawabnya cuek.
“Caturlah, Ga! Masa beteng sama kuda diangkat-angkat? Ya nggak?!” Aku tertawa sendiri dengan jawabanku. Kulihat Ega tetap diam. Sama sekali nggak tertawa.
“Kamu kenapa?” tanyaku sekali lagi.
“Aku bingung,” jawabnya lirih.
“Coba ngomong sama aku.”
Ega menghela nafas, menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku.
“Aku benar-benar bingung,” katanya lagi.
Kusandarkan kepalaku dipundaknya.
“Cerita, dong, sama aku.”
“Mama sakit.”
Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya.
“Sakit apa?” pelan aku mulai menatapnya.
“Sakit hati.”
“Jangan bercanda, dong! Males dengerinnya tau?” Aku menepuk paha kirinya keras, tapi ia tak bereaksi sedikitpun.
“Mama lever.”
Aku tercekat. “Lever?”
“Iya. Papa telepon aku tadi siang dan besok pagi-pagi aku udah harus balik ke sana. Aku juga bener-bener kaget ngedengernya.”
“Sabar, yah, sayang. Mamamu pasti cepet sembuh setelah dioperasi.” Aku mengelus kepalanya. “Terus, kapan kamu balik lagi ke sini?” susulku.
“Itulah kenapa sekarang aku bingung. Aku nggak tau kapan akan balik lagi ke sini. Mungkin dua minggu, sebulan, setahun, atau malah nggak akan pernah balik lagi.”
Aku tertunduk mendengar perkataannya. Lagi-lagi aku harus sendiri.
“Lalu aku? Terlantar lagi? Sendiri lagi?” Air mataku jatuh di tanganku sendiri.
Ega memelukku.
“Maafin aku. Aku udah janji nggak akan nyakitin kamu, dan aku juga udah janji akan nyayangin kamu seumur hidup aku. Kamu harus percaya sama aku kalo suatu hari nanti kita akan berkumpul lagi di sini. Kita akan tetep sama-sama lagi. Selamanya aku janji.”
“Tapi kapan?!” potongku. “Apa kamu sudah tau kapan?”
Ega terdiam masih memelukku.
“Tolong ngertiin aku, Ga. Aku sayang sama kamu dan aku nggak pengen kita pisah. Aku pengen terus selamanya sama kamu.”
“Tapi aku harus pergi. Mama aku sakit dan aku harus ngerawat dia sampai benar-benar sembuh. Mama nggak pengen aku pergi dari sampingnya,” katanya pelan sekali.
“Aku tau. Tapi aku nggak mau kalo kamu sampai ninggalin aku terlalu lama di sana. Aku nggak pengen kamu pergi untuk selamanya.”
Kami terdiam. Suasana benar-benar hening. Para nyamuk ikut berkabung dengan jubah hitamnya.
“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Ga?” Aku melepas pelukanku.
“Maaf. Aku nggak pengen kamu sedih.”
“Sekarang kamu malah tambah bikin aku sedih!”
“Kalo aku nggak ngasih tau kamu, pasti kamu juga akan tambah sedih. Ya, kan?!” Ega menatap mataku dalam. Diusapnya bibirku dengan ibu jarinya. Perlahan rasa hangat kurasakanlumatan bibirnya di bibirku. Ciumanku basah karena air mata.
“Aku nggak akan ninggalin kamu.”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Dia sudah berangkat satu jam yang lalu. Sebentar lagi pasti dia sudah sampai di sana. Aku sudah rindu sekali rasanya ingin mendengarkan suara itu.
“Jangan ngelamun!” bentak papa melihatku melamun memandangi kemacetan jalan. Papa sengaja mengantarku ke mall untuk refreshing, tapi yang ada malah papa sendiri yang asyik cuci mata.
Sejak kematian kak Rico, papa jadi lebih perhatian dan protect sama aku.
“Enggak, kok, pa!”
“Ega juga entar pasti balik. Kamu musti sabar. Orang dia nggak mati, juga!?”
Aku tersenyum. Aku yakin Ega asti akan kembali untukku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Dua jam sudah berlalu.
Sehari.
Seminggu.
Sebulan.
Dua bulan.
Tiga bulan.
Empat bulan..
Sudah empat bulan dia pergi. Sampai sekarang aku belum tau apa-apa tentang kabarnya.
Apa mamanya sudah sembuh? Apa papanya memperbolehkannya untuk kembali lagi kemari? Apa dia sudah sampai di Batam atau belum? Bahkan sampai pertanyaan seperti itu pun aku tak tau.
Aku benar-benar kehilangan kontak dengan Ega. Ponselnya nggak pernah aktif. Emailku juga tidak pernah dijawab.
Harus dari mana lagi aku menghubunginya?!
Empat bulan sudah ia menggantung cintaku. Dia biarkan aku tanpa sebab. Maunya apa? Ku harus bagaimana?
Melly merasuki ragaku.
Sungguh. Aku merasa sepi tanpa Ega. Aku kembali murung seperti dulu. Setiap harinya bahkan bertambah parah.
Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Sahabat-sahabatku bukan lagi teman. Kak Rico sudah pergi jauh di sana. Ega menghilang. Hanya papa dan Mbak Asih temanku sekarang. Itupun kalau mereka sempat.
Satu demi satu orang yang aku sayangi mulai pergi menjauhiku, seakan bosan dan jijik terhadapku. Aku kesepian, aku butuh teman.
Setiap malam aku selalu menangis. Mengapa hidupku seperti ini? Apa semua laki-laki itu sama? Selalu meninggalkan luka di setiap hati wanita.
Ega sudah membunuh perasaanku. Ia membuatku mati rasa akan cinta.
Aku baru sadar, bahwa selama ini kita semua salah. Di dunia ini tidak pernah ada yang namanya cinta sejati. Di dunia ini yang ada hanyalah cinta palsu. Cinta yang tampak indah pada awalnya, tapi berakhir menyakitkan.
Semua cinta pasti begitu. Dan pada akhirnya nanti, hanya akan ada kenangan yang tersisa sebagai penambah pahit luka di hati.
Mengapa harus ada cinta? Lima huruf yang tak bermakna. Benar-benar tak bermakna. Kalaupun sampai bermakna, tidak akan ada makna lain selain kepedihan.
Semu, namun mampu menyelubungi semua pikiran kita, membodohi kita dengan kekuatannya. Segelintirpun tidak akan menyisakan kebahagiaan.
Dan kalau nanti aku terlahir kembali ke dunia ini nanti, dan diberi pilihan antara cinta atau persahabatan, tentu aku akan lebih memilih persahabatan.
Aku telah mengorbankan persahabatanku dan Ega demi cinta. Padahal aku sendiri tau kalo cinta tidak seperti persahabatan yang senantiasa abadi selamanya.
Tapi sekarang semuanya sudah terlanjur begini. Aku terjebak dalam prinsip-prinsip dan keputusanku sendiri. Lelaki memang sama saja.
Aku benci Ega! Aku benci semua lelaki di dunia ini!!
Kumat.. kumat..
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
9.
SeMBiLaN
Siang itu aku masih sibuk dengan kopiku. Banyak sekali tugas kuliah yang menumpuk. Kunyalakan komputer dan segera kuketik cepat-cepat beberapa kalimat yang memang sudah tertata rapi di kepala. Sesekali aku membuka web untuk mencari data.
Aku mendadak lemas sekaligus bersemangat begitu melihat email dari Ega. Baru saja dikirim hari ini.
From:arjuna_mencari_kolor@hotmail.com
Subject : Maaf..
Maaf membuatmu menunggu terlalu lama.
Aku sudah pulang.
Aku bingung harus bagaimana. Bibirku tersenyum tapi hatiku menangis. Haruskah aku berbahagia sementara aku sudah menutup pintu hati dan maafku untuknya?!
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Sulit juga bagiku untuk menahan rasa bahagia bertemu Ega di kampus. Ia yang sekarang kulihat jarang tersenyum. Bibirnya beku.
Tapi aku belum juga menyapanya sejak pagi. Dia juga belum menyapaku sama sekali. Tersenyum pun tidak. Entah lupa atau pura-pura tidak tahu.
Ega menarik tanganku saat aku turun dari tangga. Beberapa mahasiswa lain berhenti karena jalannya terhambat, kemudian berlalu.
“Kenapa?” tanyaku dingin.
“Kamu kenapa nggak nyapa aku?!” tanyanya masih menggenggam tanganku.
“Harusnya aku yang tanya gitu. Kenapa kamu nggak ngehubungin aku selama di sana!? Kamu pikir aku senang-senang saja di sini!? Kamu emang nggak pernah ngerti perasaanku! Aku udah nunggu kamu terlalu lama tanpa kabar. Dan itu bikin hatiku sakit.” Aku mencoba melepas tanganku. Tapi pegangannya terlalu kuat.
Ega malah menarikku kuat-kuat ke dalam mobilnya. Aku terduduk di sana. Lalu Ega menyusul masuk dan membanting pintunya keras-keras.
Baru kali ini Ega kasar sama aku.
Di perjalanan aku hanya diam, nggak bergerak dan nggak ngomong. Kecuali bernafas. Aku tau aku dibawa ke mana, suatu tempat yang nggak jauh dari rumahku.
“Turun!” kata Ega dingin. Aku membuka pintu mobilnya dan turun ke halaman rumahnya.
Ega berjalan mendahuluiku. Dibukanya pintu besar dari kayu ukir yang memang tak dikunci. Seorang bapak-bapak tua sedang mencabuti rumput di halamannya.
Aku segera masuk saat Ega menyuruhku masuk. Rumah yang nggak asing bagiku. Aku sering tidur sini jika sedang jengah dengan keluargaku saat SMP. Tapi suasananya berasa lain sekarang.
“Ngapain kamu ajak aku ke sini?” Aku melipat tanganku di depan dada. Ega masih berdiri di hadapanku. “Aku tetep nggak akan pernah maafin kamu.”
“Kamu harus ikut aku!”
Lagi-lagi Ega menarik tanganku. Lebih kuat dari tadi. Akupun semakin kuat berontak.
Jujur aja aku takut tanganku lepas.
Aku tau arah jalannya. Ke kamar!! Ega bangsat!! Apa yang akan dilakukannya?!
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Seorang perempuan setengah baya, tampak tenga asyik mebaca buku di tangannya. Kulihat rambutnya yang lurus tergerai di bahu masih hitam, tapi kerutan di keningnya menggambarkan kesusahan semasa hidupnya.
Dia menyadari seseorang telah membuka pintu kamarnya dan lalu tersenyum menatapku. Ega melepaskan tangannya dariku dan berdiri di belakangku.
“Dia mamaku,” katanya.
Ibu itu berjalan mendekatiku. Perlahan kulihat air matanya mulai mengalahkan senyum tulusnya.
Matanya yang cokelat dengan hidung bangir dan bibir tipis menggambarkan garis-garis kecantikannya di masa muda. Benar-benar belum tampak tua.
“Anakku..” katanya sambil memelukku.
“Tante..” Aku balik memeluknya hangat.
“Bukan, bukan tante. Aku mamamu.”
Aku melepaskan ibu itu dari pelukanku. Aku bingung.
“Anak Anda Ega, bukan saya.”
Ibu itu menangis lagi. Sekilas aku agak tersentak setelah memperhatikan bibir dan hidungnya lagi. Itu milikku juga.
Aku berlari ke ruang depan sambil menahan tangisku. Ega menyusulku sambil setengah berlari.
“Jangan pergi!” kata Ega ketika melihatku membuka pintu.
Aku terhenti tanpa membalikkan badan. Kudengar langkah Ega mendekat.
“Dia memang mamamu!” kata Ega kemudian, tepat di belakang telingaku.
Dengan cepat aku membalikkan badan, “Dia bukan mamaku! Aku nggak pernah punya mama! Kamu jangan pernah sekali-kali mencampuri urusan keluargaku!” Telunjukku nyaris menempel di hidungnya.
“Bagaimanapun dia adalah mamamu. Dia yang udah nglahirin kamu ke dunia ini.”
“Sudah aku bilang, aku nggak punya mama jahat kayak dia!”
‘PLAKK!’
Sebuah tamparan dari Ega mendarat di pipi kiriku.
Sakit sekali rasanya. Air mataku berhenti menetes. Kutatap mata Ega yang juga balik menatapku tajam. Aku kembali menangis.
“Aku benci kamu, Ega!” kataku lirih.
“Maaf. Maafin aku. Maaf udah kasar sama kamu,” Ega meraih kepalaku dan menyandarkannya di pelukannya. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain menangis keras-keras di sana.
“Aku benci kamu.”
“Maaf. Maafin aku. Aku udah bikin kamu kecewa,” Ega terus memelukku. Hangat sekali. “Aku juga nggak suka keadaan kayak gini. Aku nggak tau mesti bersikap gimana lagi sama kamu. Maafin aku, maaf.. Aku khilaf.”
Aku larut dalam pelukan Ega. Hatiku benar-benar hancur. Aku nggak akan sanggup ngelepas Ega.
“Aku ceritain banyak ke mama tentang kamu. Dan saat aku nyebutin namamu mama ngotot pengen ketemu kamu. Sejak itu aku tau kalo kita ini emang saudara.”
“Saudara?!” aku berkata lirih sambil menggigiti jariku di pelukan Ega.
“Aku sebenarnya ingin diam aja dan nyembunyiin ini selamanya. Tapi aku nggak bisa.”
“Kenapa harus gini?! Kenapa mesti begini ujungnya, Ga? Ini susah.”
“Aku nggak tau. Aku juga nggak gampang buat nerimanya.”
“Gimana sama janji kamu ke aku? Kamu pernah janji sama aku, kan?”
“Aku tau aku udah pernah janji untuk mencintai kamu sampai kapan pun. Tapi ternyata nggak bisa. Ini bukan jalur kita. Kita tidak bisa hidup bahagia seperti yang kita harapkan selama ini.” Ega membelai rambutku.
“Tapi aku nggak akan pernah buat kamu kecewa. Aku akan tetap mencintai dan menyayangi kamu selama-lamanya, seperti kemarin-kemarin, walaupun aku harus rela ngelepas kamu.”
“Ega. Aku masih sayang sama kamu. Kamu cinta pertamaku. Aku masih cinta.”
Aku bisa merasakan air mata Ega yang menetes di pundakku.
Ega masih sempat mencium pipi dan keningku. Ciuman terhangat yang pernah aku rasakan. “Aku juga masih sayang sama kamu, adikku. Aku cinta sama kamu.”
Aku memeluk Ega semakin erat mendengarnya memanggilku adik. Ini benar-benar hal baru yang menyakitkan bagiku. Sesuatu yang sangat membuatku semakin merasa perih.
“Maafkan mama, anakku.”
Aku melepas pelukanku. Kulihat seorang ibu berdiri mengawasi kami tak jauh dari pintu kamar.
Aku berlari ke arahnya dan memeluknya erat.
“Aku benci mama,” kataku lirih di telinga mama, “Aku benci!”
Baru kali ini aku merasakan hangatnya pelukan seorang mama. Aku sama sekali nggak ingin melepaskannya. Rasanya pelukan itu bisa memberikan kedamaian di setiap hati yang sedang luka dan juga memberi celah sinar di setiap kegelapan.
“Aku benci mama.”
Aku bisa merasakan air mata mama kini mengalir lebih deras daripada aku.
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
“Ega adalah kakak kandungmu,” mama memulai ceritanya.
Kami duduk bersama di kursi teras belakang rumah Ega setelah adegan tadi. Benar-benar bab yang menguras air mataku. Ion tubuhku rasanya habis separuh hanya untuk nangis.
“Mama terpaksa ninggalin kamu saat umurmu masih seminggu. Saat itu papamu masih miskin. Orangtua mama tidak ingin mama dan anak-anak mama menderita. Mereka memaksa mama untuk ikut pindah ke Batam. Tapi papa tidak mengizinkan mama membawa kamu dan kak Rico. Saat itu Rico masih berumur empat belas bulan, jadi belum ingat apa-apa.”
“Jadi papa sebenarnya tahu kalau Ega itu sebenernya saudara kembarku? Papa ngerti kalau kita kembaran?”
Mama menggelengkan kepala. Matanya menerawang jauh ke depan.
“Papamu nggak tahu,” katanya kemudian sambil menorehkan muka ke arahku. “Waktu mama melahirkan kamu, papa lagi di Balikpapan. Ibuku meminta satu di antara bayi mama. Mama turutin aja dan nggak berani ngomong sama papa. Kata ibu dia ingin merawat Ega buat hiburan di sana, karena memang tinggal nenek dan kakek aja.”
“Kenapa mama tega ninggalin papa, aku, dan kak Rico? Harusnya mama bisa menolak keinginan mereka dan tetap tinggal dengan kami bagaimanapun keadaannya, kan? Kenapa juga mama tega misahin aku dari Ega?” Aku masih tersengal-sengal mengatur nafasku.
Ega hanya diam saja memandang lantai. Aku tau dia masih terpukul.
Mama membelai rambutku, “Mama diancam. Nenekmu akan bunuh diri kalau mama tidak mengikuti permintaannya. Memang konyol, tapi dia benar-benar akan melakukannya. Dan walau bagaimanapun dia mamaku juga, kan?”
Kami terdiam. Kulihat Ega menatap kedua mataku. Aku tersenyum.
“Ibu memintaku untuk tinggal sebentar di Batam karena kekekmu waktu itu sakit. Tapi ternyata setelah bapak meninggal, mama tetap harus tinggal di sana. Mama juga dipaksa untuk kawin lagi. Mama terpaksa ninggalin papa.”
“Tapi papaku nggak nikah lagi walaupun aku nggak punya mama,” kataku pelan.
Kulihat mata mama mengeluarkan air lagi.
“Kenapa mama nggak ke sini buat nyari kami? Paling tidak mama kan bisa..”
“Mama pernah nyoba. Tapi nenek tahu dan ujungnya lagi-lagi ke nenek,” potong Ega. “Saat itu aku belum tau apa-apa. Yang aku tau mama bertengkar hebat dengan nenek.”
“Dan sekarang apa nenek sudah mengizinkan mama kemari?”
“Belum dan nggak akan pernah. Tapi nenek sudah meninggal sebulan lalu.”
“Aku..”
“Maafin mama, ya?! Begitu mama denger namamu dari Ega, mama semakin yakin kalau kamu memang anak mama. Maaafkan mama sudah membuat hubungan cinta kalian rusak. Tapi selamanya, mama yakin, kalian akan lebih bisa mencintai sebagai saudara.” Mama menghela nafas.
Kami bertiga terdiam.
“Jujur saja, mama juga masih mencintai papa. Walaupun mama menikah lagi, itu tidak berdasarkan cinta,” kata mama kemudian.
Ternyata selama ini aku salah tentang mama.
“Mama tahu kalo kak Rico juga sudah nggak ada lagi?”
Mama mengelus dadanya pelan sambil menunduk. Seakan-akan merasakan sakitn hati yang sangat.
“Mama udah tau,” kata Ega.
“Maafkan mama. Mama tau ini kesalahan mama. Maafkan mama.”
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
10.
SEPuLuH
Hujan masih turun dengan derasnya sejak tadi sore. Kulihat langit begitu gelap. Bintang dan bulan pun masih bersembunyi. Hawa dingin menerobos jendela kamarku yang belum sempat aku tutup. Aku masih terbawa arus emosi, menangis tanpa henti.
Aku masih sayang Ega. Tapi dia kakakku yang lahir dua menit empat detik setelah aku, saudara kembarku. Bagaimana mungkin aku bisa mencintainya?!
Ini semua gara-gara mama.
Bukan! Gara-gara penulis!
Sekarang bagaimana aku harus menceritakannya sama papa bila nanti ia pulang? Apa papa mau menerima mama lagi setelah apa yang udah mama lakukan sama keluarga ini? Aku termakan kebingunganku sendiri.
Hatiku rasanya sakit sekali. Seumur hidup, rasanya lebih sakit daripada ditinggal mama. Aku nggak kuat. Cinta terlarang seperti ini membuatku bener-bener merasa semakin sesak.
Aku keluar menyambut hujan. Jalanan di kompleks perumahan ini begitu sepi dan lengang. Lampu-lampu penerang jalan hanya remang-remang saja walaupun kilaunya putih. Mendung telah mengalahkannya.
Tak kulihat seorangpun berlalu. Bahkan sehelai daun kering yang sering terbang terbawa angin pun tak tampak. Hanya ada suara gemericik air hujan dan aku. Sepertinya mereka takut terkena basah.
Aku membiarkan tubuhku kuyup oleh air. Hujan benar-benar mengerti perasaanku saat ini. Aku sudah tidak dapat membedakan lagi apa yang tertelan, air hujan atau air mata.
Semakin jauh aku berjalan, semakin banyak kenangan manis yang terlintas di benakku.
Aku sungguh tidak kuat lagi.
Cukup tajam. Buktinya kulitku mengelupas juga. Terus, terus, terus, dan terus kugoreskan pisau lipat itu di pergelangan tanganku. Sama sekali tidak perih ataupun sakit. Mungkin kalah dengan sakit dan perihnya perasaanku.
Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Aku terjatuh di jalan beraspal yang basah. Benda itu masih tergenggam di sisi tangan yang lain. Cairan merah kental bercampur dengan air hujan dan terus mengalir dari tanganku.
Semuanya terasa gelap. Bayangan akan kenangan-kenangan itupun semakin pudar. Pikiranku buyar, rasanya seperti ingin melayang.
Hatiku sakit.
Dan sekarang lebih terasa sakit
Jauh lebih sakit.
Hidupku penuh luka. Getir-getir kehidupan tak sepantasnya aku lalui. Aku menyerah menghadapinya. Aku memilih mengakhirinya daripada terus berkutat dengan kepedihan.
Samar-samar, kulihat wajah kak Rico tersenyum hangat di hadapanku. Begitu tenang dan nyata. Aku tidak sabar lagi meraih tangannya dan ikut merasakan kedamaian abadi itu.
Tapi paling tidak sesuatu yang lain yang aku inginkan terkabul. Kini lebih damai. Aku bisa melihat keluargaku berkumpul kembali. Setidaknya saat mereka mengerubungiku, menatapku dengan penuh tangis sampai ke tempat peristirahatan terakhirku.
Aku memang tak setegar aku. Tapi selamanya, inilah aku..
_Tahu Apa Kamu Tentang Cinta!_
Kau pikir apa selamanya cinta itu indah?
Nyatanya malah balik menjerat leher..
Menyisakaan bekas-bekas perih..
Kau pikir apa selamanya cinta itu penuh luka?
Nyatanya ada yang bahagia karenanya..
Tersenyum puas, tertawa pun lepas..
Kau pikir kau tahu apa tentang cinta?
Nyatanya kau buta juga menilai cinta..
Siapa kau?
Sok tahu apa itu cinta!
1 comments:
keren nie...inspiring..
"sesuatu" singgah dihatiku stlh bc postingan ne....
thx yyy...
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Post a Comment